Kamis, 24 Juni 2010

TRAGEDI KARBALA

Mengapa Asyura Diperingati Tiap Tahun?

Selama 14 abad ini, para pengikut Ahlul Bait tiap tahunnya selalu mengenang peristiwa heroik Asyura yang sangat tragis. Mereka mengenang kembali lembaran demi lembaran sejarah yang menghiasi darah-darah suci yang tertumpah di Karbala. Mereka menangis, terkadang sampai histeris. Di negeri-negeri muslim yang tradisi Syiah-nya sudah sangat kental, Asyura berarti upacara-upacara duka dengan cara turun ke jalan atau hadir di majelis-majelis duka cita.

Banyak kaum muslimin dunia yang belum mengenal madzhab Ahlul Bait ini yang mempertanyakan, mengapa orang-orang Syiah tiap tahun mengenang peristiwa tragis ini? Mengapa kematian sekelompok orang yang sudah berlalu sekian abad dari zaman kita masih terus ditangisi? Mengapa perasaan benci terhadap para pembantai keluarga Nabi masih dipelihara oleh orang-orang Syiah? Bukankah kita sebagai seorang muslim sudah seharusnya melupakan masa lalu dan memaafkan segala kesalahan mereka?

Sejak Imam Husein a.s. gugur di Karbala dan kepemimpinan atas ummat Islam atau imamah berpindah tangan kepada puteranya Imam Ali bin Husein As-Sajjad a.s, mengenang peristiwa pahit Karbala itu sudah diperintahkan oleh para imam. Dalam berbagai kesempatan, para imam selalu meminta para penyair dan orator terkenal di zamannya untuk membacakan kembali berbagai kisah yang berlangsung pada tanggal 10 Muharam tahun ke-61 Hijriah tersebut. Kita bisa mengemukakan sejumlah hal yang menyebabkan para imam sampai menyuruh para pengikutnya agar menghidupkan terus peristiwa Karbala dalam ingatan mereka.

Pertama, peringatan Asyura bisa menjadi inspirasi bagi siapapun yang mendambakan keadilan untuk melakukan gerakan kebangkitan. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, situasi represif yang ada pada zaman khilafah Yazid bin Mua’awiyah sudah sedemikian buruknya sampai-sampai, saat menerima ancaman dari Yazid agar membaiatnya sebagai khalifah, Imam Husein mengatakan, “Kita harus melupakan Islam untuk selama-lamanya jika kaum muslimin harus diperintah oleh orang semacam Yazid”.

Berbagai ciri-ciri masa jahiliah yang hendak dikembalikan lagi oleh Bani Umayyah mencapai klimaksnya pada zaman pemerintahan Yazid. Saat itu, Islam betul-betul tinggal nama. Sedangkan perilaku keseharian yang dipraktikkan oleh mereka yang mengaku sebagai pemimpin ummat Islam sudah sangat mirip dengan perilaku para tokoh Qureisy di zaman jahiliah dulu. Fanatisme terhadap kaumnya sendiri, taklid buta, dibuangnya rasa kemanusiaan, dan dicampakkannya ilmu pengetahuan sudah menjadi perilaku sehari-hari kalangan istana Syam tempat Yazid memerintah. Hal itu sangat terasa kontras dengan masa beberapa dekade sebelumnya, saat pemerintahan Islam langsung dipegang oleh Rasulullah SAWW.

Kembalinya masa gelap jahiliah kepada kehidupan masyarakat adalah sebuah proses sejarah yang terus berulang dengan instrumen yang berbeda-beda. Di setiap saat, selalu saja ada gerakan yang dilakukan orang-orang jahat untuk mengembalikan masa jahiliah. Dari sini, panji kebangkitan Asyura yang dipancangkan oleh Imam Husein a.s. akan menjadi inspirasi yang tiada habisnya bagi para pendamba keadilan. Mereka bisa melihat bahwa penegakan keadilan itu harus dilakukan meskipun itu berarti hilangnya nyawa diri sendiri dan sejumlah besar keluarga.

Di depan pasukan Ibnu Ziyad yang kemudian menjadi pasukan pembantainya di Karbala, Imam Husein mengatakan demikian.

“Wahai ummat Islam, dengarlah kata-kataku. Aku pernah mendengar kakekku, Muhamad SAWW, berkata bahwa selalu saja ada pemimpin yang mengaku bergama Islam tetapi berperilaku represif. Ia merobek-robek janji yang telah dibuatnya dengan Allah. Ia menentang sunnah Rasululllah. Ia juga memerintah dengan cara-cara kejam dan maksiat. Siapapun yang melihat pemimpin semacam itu tetapi ia tidak melakukan perlawanan dengan tindakan maupun hanya sekedar kata-kata, maka Allah akan membangkitkannya kelak di hari kiamat bersama pemimpin yang zhalim tersebut”.

Peristiwa Asyura juga memberikan inspirasi kepada para pejuang keadilan bahwa dalam pandangan Allah, kemenangan yang hakiki terkadang tidak bisa tampak pada hal-hal yang sifatnya lahiriah. Pada peristiwa Asyura, Imam Husein dan sahabat-sahabatnya malah terbantai. Akan tetapi, kekalahan secara lahiriah itu malah merupakan sebuah kemenangan hakiki. Dalam Islam, kemenangan hakiki akan diperoleh ketika seseorang mengalahkan hawa nafsu dan bisikan setan hingga ia mampu melaksanakan perintah Ilahi.

Tentu saja harus kita ingat bahwa secara lahiriah pun, Imam Husein dan sahabat-sahabatnya sebenarnya bisa disebut memperoleh kemenangan. Hanya saja, kemenangan itu bersifat politis yang bisa tampak dari situasi yang tercipta setelah peristiwa Karbala itu terjadi. Kaum muslimin yang selama ini tertipu oleh konspirasi-konspirasi licik lingkaran elite politik Bani Umayah, sejak syahidnya Imam Husein di Karbala, mulai sadar dengan ketertipuannya. Saat itu pertanyaan-pertanyaan kritis mulai mengemuka: bagaima mungkin seorang yang mengklaim diri sebagai khalifah kaum muslimin, akan tetapi berani membantai keluarga Rasulullah? Posisi politis Yazid dan antek-anteknya betul-betul hancur begitu Imam Husein gugur di Karbala.

Yang juga tidak boleh dilupakan dari kekalahan Imam Husein secara militer adalah fakta bahwa secara teoretis memang tidak mungkin mengharapkan Imam Husein dan 72 sahabatnya bisa menang melawan pasukan Ibnu Ziyad yang jumlahnya mencapai puluhan ribu. Seandainya kekuatan kedua pihak berimbang atau minimalnya tidak timpang, bisa dipastikan bahwa Imam Husein akan meraih kemenangan secara militer. Dalam pertempuran yang lebih pas untuk dikatakan pembantaian itu, jumlah tentara Ibnu Ziyad yang tewas pun sangat banyak.

Inilah yang bisa kita saksikan dari kebangkitan revolusi Islam di Iran pimpinan Imam Khomeini. Kaum revolusioner Iran mampu menumbangkan rezim despotik Syah dengan menyandarkan inspirasi mereka kepada perjuangan revolusioner Imam Husein di Karbala. Sejarah mencatat bahwa perlawanan fisik Imam Khomeini dan sahabat-sahabat mulai menggelegak sejak Imam ditahan oleh pihak keamananan kerajaan pada tanggal 5 Juni 1963, dan itu hanya terjadi tiga hari setelah para ulama Iran menyerukan peringatan duka Asyura secara nasional.

Dari Libanon selatan, para pejuang Hizbullah juga berhasil mengusir tentara penjajah Israel yang didukung oleh peralatan militer super canggih. Para pejuang Hizbullah yang mayoritasnya bermadzhab Ahlul Bait itu mengaku bahwa secara mental, mereka tidak pernah kelelahan ketika memperjuangan sesuatu yang sangat berat itu, karena menurut mereka, hal yang jauh lebih berat pernah di ditanggung oleh panutan mereka, yaitu Imam Husein a.s. dan sahabat-sahabatnya di Karbala.

Para pejuang keadilan akan memiliki ketahanan mental dan tidak akan mengenal lelah dalam perjuangan mereka jika mereka menghidupkan terus peristiwa Asyura dalam benak mereka. Setiap detik dari peristiwa yang terjadi di Karbala adalah elegi kepiluan yang sangat sulit ditandingi oleh peristiwa apapun di sepanjang sejarah ummat manusia. Karena itu, ketika berhadapan dengan hal-hal yang sangat sulit sekalipun, seorang pejuang yang terus menghidupkan Asyura dalam benaknya tidak akan pernah merasa putus asa karena yang dialami oleh Imam Husein dan keluarganya di Karbala akan tetap jauh lebih sulit dibandingkan dengan yang dialaminya.

Para veteran perang Iran akan selalu mengisahkan heroisme yang mereka gelar dalam perang melawan tentara Saddam dengan menyebut-nyebut kepiluan tragedi Karbala sebagai inspirasi tiada habisnya hingga mereka bisa resisten di hadapan kesulitan-kesulitan yang menghadang. Seorang veteran perang Iran pernah menceritakan kesulitan yang dihadapinya ketika selama tiga hari berturut-turut dikepung pasukan Saddam. Saat itu, ia dan dua orang rekannya berada di sebuah pos penjagaan Khurramshahr yang sudah ditinggalkan oleh tentara Iran lainnya. Kemungkinan besar, para tentara Iran yang lain mengira bahwa ia dan dua rekannya sudah gugur ditembak tentara Irak. Selama tiga hari terjebak di pos penjagaan itu, ketiga tentara Iran tersebut diteror oleh tentara Irak dengan dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Simaklah penurutan sang veteran perang.

“Ketika tentara Saddam datang, kami sedang berada di sebuah pos penjagaan, sebuah ruangan kecil berukuran 1 x 2 meter. Mereka langsung mengepung pos dari berbagai arah. Saluran listrik dan air yang tadiya terhubung ke pos penjagaan mereka putus. Mereka kelihatan sekali ingin menyiksa kami, karena kalau mau, mereka dengan mudah mengebom pos penjagaan hingga kami bisa mati seketika. Tetapi yang mereka lakukan hanyalah melakukan tembakan-tembakan ke arah tembok pos penjagaan. Mereka lakukan semua itu sambil tertawa-tawa mengejek. Mungkin yang mereka inginkan adalah kami melakukan bunuh diri karena tidak kuat dengan situasi yang ada”.

“Situasi kami memang sangat sulit. Selama 72 jam kami bertiga berada di sebuah ruangan kecil tanpa makanan dan minuman. Kami bahkan tidak bisa buang air di tempat lain karena sedikit saja kami memperlihatkan anggota badan kami, tentara Irak itu akan segera menembaki kami. Kami akhirnya berhasil lolos setelah datang bantuan dari rekan-rekan kami. Mereka yang kini mendengar penuturan saya mengenai kesulitan yang kami hadapi saat itu mungkin akan menganggap kami sebagai perjuangan yang sangat berat. Namun, sebenarnya tidak demikian. Penderitaan kami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan siksaan yang dialami oleh Ali Al-Ashghar, bayi kecil yang selama tiga hari tidak mendapatkan minuman apapun. Selama tiga hari itu, Ali Al-Ashgar disengat teriknya mentari padang Karbala yang buas. Ketika Imam Husein ingin memberitahukan penderitaan Ali Al-Ashghar kepada pasukan Ibu Ziyad dengan cara mengusungnya di atas telapak tangan, yang diterima oleh Ali Al-Ashghar malah sebuah anak panah yang menembus lehernya hingga ia menjadi anggota kafilah termuda yang gugur dalam peristiwa Asyura”.

Dari penuturan veteran perang Iran tadi, kita bisa melihat betapa sebuah episode dari tragedi Karbala bisa membuat mereka bisa tabah dan bertahan dalam menghadapi penderitaan yang luar biasa. Inspirasi untuk tabah dengan cara mengingat terus tragedi Karbala tentulah tidak akan mungkin bisa diperoleh oleh para veteran perang tadi seandainya Asyura tidak mereka hidupkan dalam benak mereka. Dalam kehidupan sehari-haripun, seorang yang terus mengenang peristiwa Asyura pasti akan mampu bersikap resistan di hadapan segala macam kesulitan hidupnya.

Hal lain yang sering menjadi bahan pertanyaan dari orang-orang yang belum mengenal hakikat madzhab Ahlul Bait adalah terkait dengan masalah mengapa kita harus terus memelihara rasa benci terhadap para pembantai keluarga rasulullah di Padang Karbala yang peristiwanya terjadi belasan abad yang lalu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang harus dipahami. Pertama, kebencian terhadap perbuatan buruk haruslah dipelihara terus oleh seorang muslim. Inilah ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul. Kedua, ada makhluk-makhluk tertentu di dunia yang menjadi manifestasi utuh dari perbuatan buruk. Untuk itu, Al-Quran dan Sunnah Nabi juga mengajarkan kepada kita untuk membenci makhluk tersebut. Contoh paling jelas untuk hal ini adalah makhluk bernama Iblis. Sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk memelihara kebencian Iblis dan segala perbuatannya.

Pemeliharan kebencian terhadap keburukan dan simbol keburukan itu diajarkan oleh agama supaya kita tidak tidak terjatuh ke dalam perbuatan buruk itu. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang ini, apakah mungkin makhluk yang menjadi simbol perbuatan buruk itu berupa manusia? Dengan kalimat lain, mungkinkah ada manusia yang menjadi simbol perbuatan buruk tersebut sehingga ia dan segala perbuatannya harus kita benci? Dalam sejarah ummat manusia Al-Quran memperkenalkan tokoh-tokoh jahat semacam Qabil (putera Nabi Adam), Namrud, Firaun, dll. Semasa Rasul hidup, Al-Quran juga melaknat sejumlah orang munafik karena perbuatan buruk mereka.

Dari sisi ini, kita bisa mengatakan bahwa pemeliharaan kebencian terhadap perbuatan jahat dan para pelaku perbuatan itu sebagaimana yang digelar oleh para pembantai keluarga Nabi di Padang Karbala bukan hanya tidak bertentangan dengan ajaran agama, melainkan malah sebuah ajaran abadi yang harus terus kita hidupkan. Itu semua karena karakteristik para pembantai keluarga Imam Husein dan sahabat-sahabatnya sama dengan karakteristik manusia-manusia yang dilaknat oleh Al-Quran.

Masalah terakhir yang menjadi pembahasan kita sekarang ini terkait dengan ratapan dan tangisan para pecinta Ahlul Bait saat mengenang peristiwa Asyura. Ada sejumlah kalangan yang mempertanyakan, mengapa tragedi ini sampai harus ditangisi padahal peristiwanya terjadi ratusan tahun silam? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama harus diingat bahwa menangis adalah reaksi refleks seseorang terhadap situasi emosional tertentu yang ada dalam jiwanya. Episode demi episode dalam peristiwa Karbala memang sangat mengiris hati. Karenanya, butiran air yang menetes dari mata seseorang yang tersentuh hatinya ketika mengenang peristiwa Asyura adalah sebuah proses fisiologis yang sangat alami.

Akhir-akhir ini, para psikolog menyodorkan teori tangisan sebagai bentuk katarsis atau pelepasan emosi yang menyumbat, sehingga kondisi emosional kita yang terkadang berubah-ubah karena situasi tertentu bisa kembali seimbang lewat tangisan tersebut. Para psikolog lainnya juga berbicara mengenai butiran air mata yang bisa melembutkan hati. Walhasil, tangisan pada dasarnya bukanlah sesuatu yang buruk.

Ada sejumlah pihak yang menyebut tangisan sebagai simbol kecengengan atau malah simbol ketidakrelaan kita atas kehendak Allah. Pernyataan ini memang bisa dibenarkan dalam sejumlah kasus. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan tangisan terhadap peristiwa Asyura, pernyataan tadi menjadi tidak relevan. Menangisi Asyura jelas bukan sebuah kecengengan. Justru kalau ada orang yang mengetahui adanya tragedi dahsyat ini kemudian ia sama sekali tidak bereaksi, itu menunjukkan bahwa hatinya sudah sekeras batu. Meratapi tragedi Karbala juga tidak bisa dikategorikan sebagai ketidakrelaan atas kehendak Allah karena yang tidak direlakan oleh para pecinta Ahlul bait adalah perbuatan bengis Yazid dan tentaranya, yang juga sama sekali tidak diridhoi Allah SWT.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
Oleh:
Al-Marhum Al-Ustadz Husein Al-Habsy


Daftar Isi
Pendahuluan
Sunnah-Syi’ah dalam dialog antara Mahasiswa UGM, UII Yogyakarta dengan Ustadz Hussein Al-

Habsyi
Pertama: “Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?”
Kedua: Bagaimana Pendirian Mazhab Syi’ah Tentang Sahabat Nabi?
Ketiga: “Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?”
Keempat: Benarkah Syi’ah meragukan Hadith Abu Hurairah dan bahkan tidak memakainya?
Kelima: Hadits Qur‘an wa Sunnati atau Hadits Qur ‘an wa Ithrati?
Keenam: Apakah Mungkin di Zaman Setelah Nabi saww, ada pemalsu-pemalsu Hadits?
Ketujuh: Apakah ithrah itu? Apakah yang dimaksudkan ithrah itu sampai keturunan sekarang
atau mungkin ada batasnya?
Kedelapan: Di mana turunnya ayat yang berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum dan
berkaitan dengan peristiwa apa?
Kesembilan: Apakah benar, bahwa Syi‘ah menambah dan mengurangi ayat-ayat Al-Qur’an dan

melakukan perubahan-perubahan?
Kesepuluh: Mengapa Syi’ah Imamiyah kalau Shalat hanya tiga waktu?
Kesebelas: Bagaimana menurut faham kita Ahlus sunnah tentang masalah Rajah?
Kedua belas: Apa sebenarnya makna Rafidhah?
Raj’ah Menurut Pandangan Syi’ah Imamiyah
Dalil-dalil Tentang Adanya Raj’ah
PENDAHULUAN

Risalah di hadapan anda ini adalah hasil Dialog antara Al-Ustadz Husein Al-Habsyi dengan
mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Islam Yogyakarta (UII) di Solo. Dalam
dialog tersebut para mahasiswa menanyakan beberapa masalah tentang Madzhab Syi’ah Imamiyah,

antara lain:
1. Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?
2. Bagaimana Pendirian Madzhab Syi’ah tentang sahabat Nabi Saww?
3. Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?
4. Benarkah Syi‘ah itu meragukan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan bahkan tidak

menggunakannya? Apakah dengan membuang Hadits-hadits riwayat Abu Hurairah, Islam ini akan
lenyap? Dan bagaiman akhirnya nanti?
5. Mohon penjelasan tentang Hadits Tsaqalain (Qur’an wa Sunnati) atau Qur’an wa Itrati AhIi Baiti
2:
mana yang lebih shahih?

6. Kalau Sunnah pada zaman Nabi ternyata tidak dibukukan, tetapi mengapa sampai juga kepada kita
dan dipakai oleh kita Ahlussunnah. Kemudian apakah mungkin di zaman itu ada pemalsu-pemalsu
Hadits?
7. Apakah Itrah itu? Apakah yang dimaksud ltrah itu sampai keturunan Rasulullah saw yang sekarang
ini atau mungkin ada batasannya?
8. Di mana turunnya ayat yang berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum dan berkaitan dengan
peristiwa apa?
9. Benarkah tuduhan bahwa Syi’ah menambah dan mengurangi ayat-ayat Al-Qur’an dan melakukan

perubahan -perubahan?
10. Mengapa Syi’ah Imamiyah kalau Shalat hanya tiga waktu?
11. Bagaimana menurut faham kita Ahlus sunnah tentang masalah Raj’ah?
12. Mungkin Ustadz tahu apa sebenarnya makna Rafidhah?

Dalam jawabannya terhadap pertanyaan mereka, Ustadz Husein menggunakan pendapat Ahlus
sunnah, dengan maksud agar serangan-serangan (tuduhan-tuduhan) yang dilemparkan kepada
Madzhab Syi’ah lmamiyah dapat dihentikan karena kedua Madzhab itu tidak berbeda dalam masalah-
masalah pokok. Semoga risalah kecil yang kami kutip dari kaset tanya jawab Ustadz Husein dengan
para mahasiswa ini, dengan kami tambahkan catatan kaki dan setelah kami tanyakan kepada Ustadz
sebagai sumber rujukan, maka dapat menambah wawasan pengetahuan kita, agar kita tidak mudah
memvonis saudara-saudara kita sesama muslim secara in-absentia dan teks-book thingking kita.
Sunnah-Syi’ah dalam dialog antara Mahasiswa UGM, UII Yogyakarta dengan Ustadz Hussein
Al-Habsyi

Mahasiswa: Ustadz Husein yang terhormat, kedatangan kami ini bertujuan untuk silaturahmi. Kami
rombongan mahasiswa dan Yogya, sebagian kami ini dan Universitas Islam Indonesia dan ada juga
dan Universitas Gajah Mada. Kami banyak mendengar tentang Mazhab Syi’ah dan beberapa Ulama
yang pernah kami datangi. Tetapi kami belum merasa puas karena masih ada beberapa jawaban
yang kurang tepat menurut kami. Sekarang kami minta agar Ustadz menjelaskan masalah Madzhab
Syi’ah ini, dan kami telah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang kami anggap perlu.

Ustadz Husein: Saudara-saudara mahasiswa dari Yogya, Assalamu’alaikum Warahmatullahi
wabarakatuhu. Saya bahagia atas kedatangan saudara-saudara kepada saya, apalagi dengan tujuan
yang baik yaitu silaturrahim. Saya bersyukur kehadirat Allah karena saudara-saudara masih
mempunyai keinginan untuk mengetahui Sebuah Madzhab, yang selama ini di Indonesia tidak

terkenal. Tetapi kemudian setelah dikenal banyak fitnah yang ditujukan kepada Madzhab ini. Namun sayang saudara-saudara, sebab saya sendiri bukan Syi’ah. Jadi sebenarnya lebih tepat bila saudara-saudara terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini kepada yang menyatakan bahwa dirinya memang orang Syi’ah.
Pertama: “Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?”
Mahasiswa: “Walaupun Ustadz bukan seorang Syi’ah tetap kami rasa paling tidak Ustadz telah

membaca tentang Madzhab ini. Jadi kami rasa tidak salah bila kami bertanya kepada Ustadz. Dan sebaiknya kami langsung saja bertanya. Pertanyaan kami yang pertama adalah: “Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?”

Ustadz Husein: Baiklah saudara-saudara, saya akan menerima desakan saudara agar saya
menjawab pertanyaan saudara-saudara Insya Allah, namun sebaiknya dalam majelis ini kita
hindarkan perdebatan. Saya sangat tidak setuju bila majelis seperti ini yang sedianya bermaksud
mencari ilmu, mendengar sesuatu yang bisa menambah ilmu, kemudian berbalik menjadi majelis
perdebatan, sedangkan perdebatan itu hanya akan membawa permusuhan. Jadi kalau itu terjadi,
3:
maka hilanglah maksud yang baik dan majelis ini.

Saudara-saudara yang terhormat! Menjawab pertanyaan saudara ini saya kira mengkafirkan sesama
muslim, bukan saja tidak dibenarkan oleh syariat Nabi Muhammad Saww tetapi juga tidak pantas
dan juga tidak menguntungkan baik dipihak Syi’ah maupun Ahlus Sunnah, bahkan bisa melemahkan
keduanya. Siapa di antara kita kaum muslimin --apalagi saudara mahasiswa ini-- yang belum
mendengar tentang Kristenisasi yang galak dan dahsyat seperti sekarang ini. Mereka sebelum ini
sudah bersatu dan segala aliran; Katolik, Protestan, Advent, ditambah dengan kaum musyrikin,
Zionis dan Yahudi, mereka semua sudah bersatu, sedangkan kaum Nasrani bergabung dalam satu
dewan gereja. Padahal mereka tidak punya ayat yang berbunyi:
“Bahwa sesungguhnya umatmu ini adalah ummat yang satu dan Kami adalah Tuhanmu, maka
sembahlah Kami.” (Q.S.21: 92).

Mereka tidak pernah dipersatukan dengan Injil mereka atau Taurah mereka, tampaknya mereka
dalam taktik mencapai target mengkristenkan kita, memurtadkan kita, maka bersatulah mereka untuk
menghadapi kita. Menurut informasi yang saya terima, ribuan sekolah dasar sekarang murid-
muridnya dibiayai oleh kaum inissionaris (kaum Nasrani), tentunya dengan maksud -maksud tak
asing lagi bagi kita. Jadi gereja menginginkan agar mereka itu merasa berhutang budi kepada
Nasrani kemudian mudah ditarik oleh mereka ke Gereja. Karena itu mereka mencapai kemajuan
yang pesat di tahun-tahun terakhir ini.

Sedangkan kita --maaf-- secara tidak sadar membantu mereka mengeluarkan saudara- saudara dan
generasi kita yang sekarang ini dan ummat dan agama Islam. Jadi mereka akan lebih mudah
mengkristenkan kita, sedangkan kita mengkafirkan saudara kita sendiri.
Adakah fanatisme yang lebih berat daripada ini?
Kita sekarang ini tidak perlu Syi‘ah atau Sunnah menjadi bahan gaduh di antara kita, kaum muslimin.
Kita perlu Islam yang bersumber kan Al-Qur’an dan Al-hadits diterapkan pada diri kita.

Kita memerlukan ukhuwah, memerlukan pengumpulan dana dan seluruh masyarakat dan organisasi
Islam untuk menebus jutaan pemuda muslim yang sekarang diambang pintu Nasrani untuk
dikristenkan.
Untuk menyelamatkan mereka, barangkali kita perlu mengurangi belanja rumah tangga dan uang
jajan anak-anak kita. Dan gadis- gadis serta wanita kita, harus mengurangi segala macam

kelebihan benda-benda yang tidak diperlukan seperti alat-alat make-up dan sebagainya, karena
uang itu nanti akan kita sumbangkan kepada penduduk yang miskin di antara kaum muslimin yang
sekarang dipegang oleh gereja dengan maksud-maksud seperti itu.

Sekarang kita membuang uang untuk mencetak buku-buku, membagikan buku-buku secara gratis
yang hanya isinya caci-maki, tuduh-menuduh dan kafir-mengkafirkan. Sehingga uang ratusan juta di
Indonesia ini kita habiskan hanya untuk membumihanguskan rumah tangga kita sendiri. Apakah
tindakan seperti ini cocok dengan syariat, sesuai dengan akal sehat, pantas dengan waktu

seperti sekarang dan sejalan dengan politik perjuangan dewasa ini? Biasanya tindakan-tindakan
semacam itu diilhami oleh wawasan yang sempit, fanatisme yang bergejolak di dada, atau
kesempitan akhlaq dan kedengkian yang mendalam terhadap sesama muslim. Paling tidak itu hanya
intrik dan zionisme atau salibisme internasional. Kita (Ahlussunnah) mengkafirkan Syi‘ah Imamiyah
berdalilkan teks books kita dan secara subyektif serta in-absentia. Ini salah satu dan wawasan
yang sempit, sebab kita tidak berhadapan dengan mereka secara langsung. Belum pernah kita
mengadakan diskusi bersifat final antara Ulama Syi‘ah dan Ulama kita. Kita mencaci mereka dengan
menggunakan dalil buku-buku orientalis, itu juga menunjukkan wawasan yang sempit.
Kita kafirkan mereka berdasarkan caci-maki, ejekan dan segala macam kebohongan, itu juga

merupakan akhlaq yang sempit. Orang yang berwawasan sempit akan mengatakan, bahwa kita
(Ahlus sunnah) ini juga melakukan tahrif, seperti kita mengatakan bahwa Syi’ah melakukan tahrif dan
begitu seterusnya. Saya kira hal ini perlu saudara-saudara camkan sebelum majelis ini akan kita
lanjutkan nanti.
4:
Kedua: Bagaimana Pendirian Mazhab Syi’ah Tentang Sahabat Nabi?

Mahasiswa: Ustadz Husein yang terhormat, terima kasih atas keterangan yang disampaikan kepada
kami. Sebelum kami melanjutkan pertanyaan yang kedua, kami ingin kembali dengan jawaban
Ustadz Husein yang pertama tadi, yakni Ustadz Husein menyatakan bahwa kita tidak perlu saling
mengkafirkan di antara kaum Muslimin. Namun kami sering mendengar bahwa orang-orang yang
berfaham Syi‘ah sering mengkafirkan Sahabat Nabi Saww. Kalau itu tidak benar, kami ingin
menanyakan kepada Ustadz: “Bagaimana sebenarnya pendirian orang Syi‘ah terhadap para
Sahabat Nabi Saww?

Ustadz Husein: Dalam masalah ini, sebenarnya dua Madzhab ini mempunyai dua pendapat dan dua
pendirian masing-masing. Kalau Madzhab Syi’ah itu, membagi para sahabat Nabi menjadi tiga
bagian sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab mereka antara lain sebagai berikut:[1]

Bagian pertama: Adalah sebagian sahabat yang benar-benar taat dan setia kepada Rasulullah Saww, tidak pernah melanggar dan tidak pernah membantahi dan sebagainya. Antara lain yang disebut-sebut oleh Syi’ah ialah nama-nama: Ammar, Al-Asytar, Abu Dzar, Salman, Jabir bin
Abdillah, dan sebagainya. Begitulah menurut mereka.

Bagian kedua: Ialah sahabat-sahabat yang pernah berbuat sesuatu yang kurang menampakkan
kesetiaannya kepada Rasulullah Saww. Dan perbuatan-perbuatan mereka itu disebutkan serta ditulis
di dalam kitab-kitab standard hadits kita seperti, Bukhari, Muslim dan lain sebagainya. Syi’ah pun
mempunyai jalur yang meriwayatkan hal seperti itu, kemudian Syi‘ah berpegangan bahwa mereka
itu (sahabat) dalam pembagian kedua ini memang masih harus diseleksi dan diragukan.
Bagian ketiga: Yaitu sahabat yang dianggap munafiq, orang-orang seperti ini masuk dalam batas

kufur. Yang menyatakan adanya munafiq dari kalangan sahabat itu adalah Nabi sendiri. Di dalam Hadits-hadits yang diriwayatkan Bukhari yang di antaranya menyatakan: “Bahwa kelak dihari kiamat beliau Saww berada di Haudh, tiba-tiba datang para Sahabat lalu mereka mau minum, Rasul mau melayani mereka, tetapi mereka dijauhkan dari Rasul, Rasul ditanya: “Engkau tidak tahu
wahai Muhammad, apa yang telah mereka lakukan serelah engkau wafat.”[2]
Juga dalam Al-Qur’an disebutkan: “Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu ada
orang-orang munafik; dan (juga) dl antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam

kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui
mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab
yang besar.” (Q.S.9: 101)

Ayat-ayat dan Hadits-hadits seperti ini banyak, dan oleh kaum Syi’ah Imamiyah hal itu dijadikan
pegangan dan mereka tidak akan meninggalkan, karena mereka menganggap itu juga nash, mereka
tidak boleh mempunyai pendapat di samping nash.

Adapun kalangan kita Ahlussunnah, menyatakan bahwa semua sahabat tanpa kecuali adalah “udul” artinya orang yang bisa dipercaya. Orang-orang baik, setidak-tidaknya mereka pernah melihat wajah Nabi Saww dan pernah ada di sekitar Nabi, itu baik dan itu pendapat. Ya... agar tidak terlalu

banyak hal yang akan menimbulkan pertanyaan, pokoknya semua baik, sudah. Jadi kalau ada
satu riwayat tentang kesalahan yang jelas di kalangan para sahabat itu, kita Ahlussunnah
menganggapnya itu adalah ijtihad sahabat.

Kemudian Kita ta‘wilkan dan tafsirkan sampai akhirnya mereka dianggap mendapat pahala (sebagai
orang yang mendapatkan fadhilah), dapat ganjaran. Misalnya sahabat membunuh sahabat.
Muawiyah memerangi Ali sampai beberapa belas ribu orang sahabat gugur. Kita mengatakan
Muawiyah itu berijtihad dan ijtihadnya itu sampai memerangi Ali bin Abi Thalib, dan kita mempunyal
kaidah ushul:
Apabila hakim berijtihad, kalau benar mendapat dua pahala, dan kalau salah mendapat satu pahala.
[3]
Jadi minimal Muawiyah bin Abi Sufyan mendapat satu pahala. Begitulah sikap kita Ahlussunnah
terhadap para sahabat. Tentu masing-masing Madzhab mempunyai pendirian sendiri dalam
5:

beberapa masalah, dan kita yang berpendirian seperti ini seharusnya menghormati pendirian orang
lain. Kalau Syi ‘ah mengkafirkan orang-orang munafik, kita tidak boleh mengkafirkan mereka, karena
mereka hanya mengkafirkan sebagian sahabat yang munafik yang telah dijelaskan di dalam Al-
Qur’an dan Hadits-hadlts. Mereka punya dasar dan alasan, -setidaknya mereka berijtihad dan
berdasarkan nash yang ada pada kita juga, jadi tidak boleh kita salahkan begitu saja. Kita boleh
menerima atau tidak menerima pendapat itu. Kalau kita tidak menerima pendirian mereka ini
maka kita kembali kepada pendirian kita, yaitu semua sahabat itu “udul” tanpa kecuali. Inilah
pendapat saya tentang masalah kedua ini. Jadi masalah ini kita serahkan kepada pendirian kita

sendiri dan bagaimana akal serta logika kita mengkaji masalah-masalah seperti ini. Kalau Syi’ah kita anggap mengkafirkan sebagian dan para sahabat lalu kita vonis mereka ini kafir maka hal ini tidak benar. Sebab kita mesti tahu dengan alasan apa mereka mengkafirkan itu? Kalau alasannya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits maka itu adalah hak mereka dan kalau kita tidak sependapat dengan itu, maka itu adalah hak kita.
Mahasiswa Setelah mendengar keterangan dan Ustadz, kami jadi ingin bertanya lebih jauh. Jika
demikian, apa bedanya pendirian Syi’ah dan Ahlussunnah men genai sahabat?

Ustadz Husein: Tadi sudah saya jawab bahwa perbedaan kita dengan mereka ialah bahwa Imamiyah mengatakan, sahabat itu dibagi menjadi tiga kelompok (ditinjau dan sudut keimanan mereka). Yang paling tinggi di antara mereka adalah para sahabat yang tidak pernah berbuat
sesuatu yang tercela dan mereka tidak pemah berbuat salah. Yang kedua adalah mereka
yang pernah membuat kesalahan sebagaimana yang telah saya sebutkan tadi yakni sahabat

membunuh sahabat, sahabat mencerca sahabat dan sebagainya. Yang ke tiga yaitu sahabat yang
munafik dan sifat mereka yang munafik ini sudah jelas tampak. Namun sikap kita Ahlussunnah
menganggap bahwa semua sahabat itu “udul”. Kalau sekiranya ada perbuatan yang menyimpang
maka kita ta‘wilkan, sehingga kadang-kadang terus saja saya ingin menegaskan ta‘wil kita itu
bertentangan dengan nash. Jadi seakan-akan kita mengatakan bahwa syariat Islam ini tidak berlaku
atas sahabat, dan ini tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah Saww. Rasulullah sendiri
pernah bersabda: ‘Andaikata Fatimah binti Muhammad AS mencuri, niscaya akan aku potong
tangannya’.[4]

Jadi, Fatimah yang merupakan sepenggal dari badan Nabi dan yang paling dicintai di dunia ini di
antara manusia-manusia yang hidup, andaikan beliau tercinta itu mencuri, maka Nabi akan
memotong tangannya! Maka saya kira sahabat yang lain pun tidak berhak untuk mendapat kekebalan
hukum atau kita menta‘wilkannya.
Ketiga: “Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak
sah?”

Mahasiswa: Kami masih ingin menanyakan tentang satu masalah, dan masih sekitar masalah sahabat cuma kami lebih menyempitkan permasalahan ini. Pertanyaan kami: “Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khaltfah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?”

Ustadz Husein: Dalam masalah ini dua Madzhab ini mempunyai dua pendapat dan dua pendirian. Dua pendirian itu tidak bisa dikompromikan sebab konsekwensinya seseorang yang memegang pendirian harus tetap dan teguh atas dali-dalil yang diyakininya.

Sekarang kita mendapati ada dua golongan. Satu golongan yang meyakini bahwa Nabi Saww dalam
beberapa Hadits menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin setelah Beliau, misalnya Hadits
Ghadir yang berbunyi: “Barangsiapa menjadikan aku sebagai pemimpilnnya maka Ali juga
pemimpinnya.”[5]

Dan Hadits Tsaqalain yang berbunyi: “Aku Tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, yaitu Al-Qur‘an dan Itrah Ahli Baitku. Kalau kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian tidak akan sesat.”[6]
Kemudian Hadits Manzilah ketika menjelang perang Tabuk: “Kedudukan engkau dan aku
sebagaimana kedudukan Harun dan Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelah aku.“[7]
Dan masih banyak lagi Hadits yang seperti itu yang jelas dan tidak bisa diragukan lagi bahwa
6:
Nabi Saww menunjuk Ali dengan perintah Allah menjadi Khalifah setelah Beliau.

Jadi Nabi dengan tegas mengatakan sesudah Beliau hanya Ali sebagai penerusnya. Jika ada orang
lain menjabat itu maka menurut Syi’ah jabatan itu tidak sah. Sebab mungkin seperti seorang gubernur
yang menjabat sebuah propinsi karena desakan orang-orang disekitarnya tanpa dia menerima surat
keputusan dari presiden maka hal itu tentunya tidak dianggap sah. Masalah ini menurut Syi’ah
adalah masalah yang prinsip. Sebab Imamah menurut mereka merupakan masalah yang sangat
mendasar.

Kita -Ahlus Sunnah tidak mengatakan seperti itu. Kita mengatakan bahwa Nabi tidak meninggalkan
pesan apapun,[8] sehingga untuk mengangkat pemimpin, sahabat
menjalankannya dengan musyawarah di antara mereka. Dan syuroh itu memilih Abu Bakar sebagai
Khalifah pertama.[9] Kemudian oleh beliau jabatan selanjutnya diserahkan kepada Umar Ra sebagai
Khalifah kedua, menjelang wafat, Umar menunjuk 6 orang untuk memilih seorang Khalifah.
Kemudian Utsman menjadi Khalifah ketiga,[10] di antara 4 Khalifah ini menurut sejarah kita
Ahlussunnah hanya Ali saja yang dipilih secara aklamasi oleh seluruh kaum muslimin tanpa
terkecuali. Jadi pemilihan empat Khalifah itu dilakukan dengan empat macam cara.

Hal ini oleh kaum muslimin sekarang khususnya Ahlus Sunnah merupakan cara yang wajar dan
cukup memadai serta tidak salah. Dengan demikian kita menganggap ketiga Khalifah itu adalah sah,
sedang Syi’ah tidak demikian. Mereka menginginkan Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah Saww.

Sedangkan kita seakan -akan tidak membenarkan adanya penunjukan. Padahal sebenarnya kalau
kita sabar meneliti dan membaca hadits-hadits sehubungan dengan itu, kita akan tahu bahwa
sebagian dan sahabat waktu itu mengakui adanya penunjukan. Di antaranya terbukti ketika mereka
berkumpul di tempat bernama Khum, Nabi mengangkat Ali sebagai wali sesudah beliau, maka
Sayyidina Umar diriwayatkan datang kepada Ali dan menjabat tangan beliau sambil mengatakan:
“Selamat wahai putera Abu Thalib! Engkau hari ini menjadi wali tiap mu ‘min.”[11]

Bila demikian Hadits yang diucapkan oleh Nabi di Ghadir Khum, saya kira tidak bisa disalahkan, jadi
memang betul Hadith dan kejadian itu memang ada, namun sebagian dan kita mengatakan tidak
demikian.[12] Oleh karena itu mereka kembali kepada syuro (musyawarah).

Menurut Syi‘ah Imamiyah, syuro semacam itu tidak memenuhi syarat sebab sahabat-sahabat yang
berjumlah sekitar 100 ribu orang itu, yang ada di kota Madinah paling tidak sejumlah 2000 orang dan
dari jumlah itu yang hadir dalam musyawarah pengangkatan Abu Bakar paling banyak 100 orang.
Bahkan dari 100 orang itu tidak semuanya sepakat, tidak aklamasi dan di antara mereka ada yang
mengatakan: “Minna Amir Wa minkum Amir” (Dari kami harus ada pemimpin dan dari kalian
angkatlah pemimpin sendiri).
Sehingga hampir-hampir terjadi tindakan kekerasan hingga Sayyidina Umar Ra berkata: “Bunuhlah
Sa ‘ad bin Ubadah pemimpin Anshar itu!”[13]

Dengan demikian tidak cukup memadai untuk syuro itu. Kemudian dikatakan pula syuro tersebut tidak memadai karena ahli-ahli syuro dari Bani Hasyim, seperti Ali, Abbas dan sebagainya tidak ada yang hadir dan kaum Anshar pun tidak semuanya hadir karena tidak tahu.[14]

Karena itu Umar pada akhirnya berkata: Bai‘at Abu Bakar itu adalah sesuatu yang Faltah”[15] (secara
tergesa-gesa) yang Alhamdulillah Allah menyelamatkan kita dari akibat buruknya. Jadi tampaknya
seperti diatur supaya cepat, sebab kalau semua sahabat hadir mungkin pemilihannya tidak seperti
apa yang terjadi itu. Begitulah pendapat Syi‘ah.
Keempat: Benarkah Syi’ah meragukan Hadith Abu Hurairah dan bahkan tidak memakainya?
Mahasiswa: Sekarang kami lebih merasa puas dengan penjelasan Ustadz kami ingin bertanya
tentang Abu Hurairah. Kita sama tahu bahwa sekarang ini Abu Hurairah sedang diteliti kembali.

Pertanyaan kami: Apakah benar Syi‘ah Imamiyah ini meragukan Hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah dan bahkan tidak memakainya? Apakah dengan membuang Hadits-hadits riwayat
Abu Hurairah, Islam ini tidak lenyap? Dan bagaimana akhirnya?
7:
Ustadz Husein: Tentang Abu Hurairah, kaum Imamiyah mempunyai jalur riwayat-riwayat beliau,

sejarah atau biografi beliau. Dan hal ini telah diungkapkan oleh kedua belah pihak bahkan kita memiliki juga riwayat-riwayat tentang Abu Hurairah di dalam kitab-kitab Al-Isti‘ab karya Ibnu Abdil Bar, Al-Ishobah oleh Ibnu Hajar dan lain-lain. Juga beberapa kitab tarikh meriwayatkan juga tentang Abu Hurairah ini secara rinci.

Kesimpulannya, sahabat ini oleh Ahlul Sunnah juga termasuk orang yang diragukan. Namun
sebagaimana yang telah saya katakan tadi, bahwa pendirian kita Ahlul Sunnah menganggap semua
sahabat Nabi itu “Udhul”. Dengan demikian, maka Abu Hurairah juga diusahakan untuk diberi
“excuse” sehingga kita mengatakan bahwa Abu Hurairah ini harus kita percayai karena Hadits-hadits
yang diriwayatkannya banyak sekali.
Dia meriwayatkan mungkin lebih dari 5000 buah Hadits. Adapun pertanyaan anda: Apakah hal ini
tidak sampai mengurangi syariat?

Jawabannya saya kira tidak, sebab Hadits-hadlts yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah juga
diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lain dan diriwayatkan pula melalui jalur-jalur Imamiyah
secara khusus. Jadi bukan Abu Hurairah saja yang meriwayatkannya tetapi juga sahabat-sahab
yang lain.

Misalnya saja tentang Bab Wudhu atau Bab Tayamum Abu Hurairah meriwayatkan, sahabat-sahabat
lain yang dipercaya oleh Imamiyah juga meriwayatkan, demikian juga sahabat-sahabat selain Abu
Hurairah yang dianggap semuanya “udul” oleh Ahlussunnah juga meriwayatkan, dan tidak mesti dari
jalur Abu Hurairah saja. Juga Abu Hurairah ini oleh Syi‘ah dianggap sebagai perawi yang suka
menambah. Yakni menguatkan pendirian Nabi dengan pendirian beliau sendiri inisalnya Hadits
yang berbunyi:
“Ummatku di hari kiamat nanti akan dibangkitkan oleh Allah dalam keadaan wajah, kedua tangan dan
kakinya serta tempat-tempat yang terkena air wudhu akan bersinar.”[16]
Kemudian Hadits ini ada tambahannya: “Barangsiapa yang bisa menambah selain dan itu maka
lakukanlah.”

Jadi menambah batas wudhu bukan hanya batas siku tetapi ditambah hingga ke pangkal lengan
karena tambahan itu nanti menyala juga di hari kiamat: Ketika Abu Hurairah ditanya tentang hal ini, ia
menjawab bahwa yang terakhir tambahan itu bukan dari Nabi tetapi dari Abu Hurairah sendiri.
Ahlussunnah meriwayatkan dan menerima seperti itu, sedang kaum Syi’ah tidak menerima hal itu.
Sebab menurut mereka, kita tidak boleh menambah sabda Nabi. Jadi apa yang dibawa oleh Rasul
sebagaimana ayat yang mengatakan “Sampaikan apa yang diturunkan kepadamu…” kita juga
menyampaikan apa yang dibawa oleh Rasul tanpa kita tambah, walaupun mungkin niat Abu Hurairah
baik, yang maksudnya menambah agar tidak sampai persis dan juga untuk hati-hati (lil ihtiyat)
jangan sampai ngepas.

Tetapi Syi’ah tidak bisa menerima hal yang seperti ini. Syi’ah itu bermaksud menghendaki ketegasan dan kejelasan dan mengatakan ini tidak betul dan kami tidak mau tambahan ini. Karena itu mereka mengatakan bahwa Hadits riwayat Abu Hurairah di atas ini adalah tambahan.
Dan ada lagi di dalam Hadits Bukhari, ketika Abu Hurairah ditanya -di dalam Bab Nafaqah- apakah ini
dari sabda Nabi? Dia menjawab tidak, ini dan kantong Abu Hurairah.

Menurut Imamiyah, hal ini fatal. Dalam hal-hal seperti ini Syi’ah tidak bisa menerima. Bukan hanya
orang-orang lmamiyah saja yang tidak percaya dengan Abu Hurairah bahkan Sayyidina Umar bin
Khattab sendiri pernah meragukannya. Ketika Abu Hurairah dipanggil dari Bahrain oleh Khalifah
Umar, ia datang sambil membawa oleh-oleh berupa barang dan harta benda, kemudian ditanya oleh
Sayyidina Umar: “Apa ini semua? Dia menjawab: Ini kuda-kuda saya yang beranak dan ini hadiah-
hadiah dari orang-orang itu.” Umar bin Khattab menolaknya: Tidak, semua ini harus kau kembalikan
ke Baitul Mal. Ia menjawab lagi: Wahai Amirul Mu’minin, ini hadiah!
Kata Amirul Mu’minin: Kalau kau tidak memegang jabatan itu dan kau tinggal di rumah tanggamu,
apa ada kiranya orang-orang yang memberi kamu hadiah ? Kembalikan semuanya ke Baitul Mal!
8:
Abu Hurairah bersikeras: Saya akan mewakafkannya. Umar marah, Kembalikan ke Baitul Mal

sebelum aku pukul engkau. Kamu boleh mewakafkan sesuatu yang datang dari ayahmu atau dan warisan ayahmu, tetapi ini adalah hak kaum muslimin dan kamu harus mengembalikannya kepada mereka.[17]

Hadits-hadits dan riwayat-riwayat semacam ini kita yang meriwayatkan. Kita tidak boleh menyalahkan
Syi’ah, kita tidak boleh gegabah, bukankah hal-hal seperti itu kita sendiri yang meriwayatkannya?
Kalau kita konsekwen menyalahkan Syi’ah, kita harus menghapus hadits-hadits yang ada dalam
Bukhari dan lain-lain yang berkenaan dengan Abu Hurairah ini.

Kesimpulannya, kita tidak boleh menyalahkan Ahlussunnah --yang menganggap Abu Hurairah itu
orang yang “udhul” dan juga tidak boleh menyalahkan Syi’ah --karena mereka melihat adanya riwayat
yang meragukan.

Saya kira dua Madzhab ini masih ada dalam jalur yang wajar dan sehat, menurut ilmu pengetahuan dan ijtihadnya masing-masing. Sebagaimana kita, Syi’ah juga menghendaki segala sesuatu yang datang kepada mereka dan para sahabat, seharusnya sudah selektif (terpilih), tidak sembarang sahabat.
Mereka tahu bahwa yang datang kepada mereka itu adalah masalah agama atau Ad-Din yang harus
dibawa oleh orang-orang yang sangat jujur, tidak sombong, tidak korupsi dan lain sebagainya.
Maka dari itu mereka menganggap bahwa kriteria ini tidak dimiliki oleh Abu Hurairah
sehingga kita dengan mereka berbeda dalam masalah Abu Hurairah.

Sedangkan masalah agama tidak ada hubungannya dengan masalah ini sebab hadits-hadits tentang
agama (hukum) diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lain. Walaupun umpamanya Syi‘ah
meniadakan riwayat Abu Hurairah secara keseluruhan dan meniadakan riwayat sahabat-sahabat
yang memerangi Sayyidina Ali yang akan merebut Khalifah secara kudeta, serta mengeroyok Utsman
bin Affan, kita tidak boleh salahkan mereka. Sebab orang yang ingin menyalahkan Syi’ah dalam hal
ini maka tidak ada kesetiaannya terhadap ukhuwah dan kepada Islam.
Mahasiswa: Selain riwayat Abu Hurairah, riwayat-riwayat siapa lagi dari sahabat Nabi yang tidak
dipakai oleh Syi‘ah?

Ustadz Husein: Imamiyah tidak memakai riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang hadir
bersama Sayyidatuna A’isyah Ra di dalam peperangan Onta untuk memerangi Ali dan juga yang
hadir di dalam peperangan Siffin bersama Muawiyah yang memerangi Imam Ali di Siffin.

Imamiyah menganggap hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang seperti mereka ini adalah
tidak kuat, sebab orang-orang ini melanggar perintah Rasul Saww: “Barangsiapa yang keluar
(membatalkan) bai ‘atnya, maka apabila Ia mati, maka matinya mati jahiliah.”[18]

Jadi mereka yang memerangi Ali dianggap Imamiyah sebagai orang-orang yang kesalahannya luar
biasa (tidak dimaafkan), mereka ini hadits-haditsnya tidak dipakai. Alhamdulillah, jalur-jalur selain
mereka masih cukup sehingga syariat Islam sampai kepada kita dan sampai pula kepada Imamiyah.
Kita bisa melihat apakah mereka kekurangan?

Kalau kita masih meragukan, bila kita tolak hadits-hadits yang dibawa oleh Abu Hurairah kemudian Syariat Islam akan hilang separoh? Kita lihat saja Imamiyah yang sama sekali tidak memakai hadits- hadits Abu Hurairah. Walaupun mereka menolak Abu Hurairah dan sekian banyak sahabat lainnya, toh Fiqih mereka lengkap, Ushul dan Tauhid mereka komplit. Semua ini diambil oleh mereka dari jalur para Imam mereka dan para sahabat yang simpati kepada Ahlul Bait.

Insya Allah di kalangan saudara-saudara yang berkecimpung di dalam bidang-bidang’ ilmu
pengetahuan dengan cara ilmiah tidak akan sulit meneliti hadits-hadits yang dibawa oleh Syi‘ah
Imamiyah dan hadits-hadits yang ada di tangan kita. Insya Allah hal ini tidak sukar bagi saudara
apabila ada waktu untuk mempelajarinya.
Mudah-mudahan apa yang saya terangkan tentang Abu Hurairah ini, khususnya juga yang
9:

diriwayatkan di dalam kitab-kitab shahih Bukhari-Muslim sebenarnya membuat kita Ahlussunnah?
meragukannya, sebab beliau mengatakan -sebagaimana yang telah saya katakan tadi- ketika ditanya
“Apakah kamu mendengar ini dari Rasulullah?” Beliau menjawab: Tidak, -sambil bergurau- ini
berasal dari kantong Abu Hurairah. Anda bisa melihat ini dalam Shahih Bukhari juz 7 hal. 63 di
kitab Nafaqah (Bab Wujubun Nafaqah ala Ahli wal Iyal). Dengan demikian orang bisa ragu, tetapi
karena kita sudah terlanjur mempunyai kaidah semua sahabat “udul”, maka kita tidak bergerak dari
kaidah itu, dan hal itu tidak ada masalah, yang penting kita tidak memaksa orang lain untuk percaya
pada sistem atau cara Imamiyah dalam menanggapi sahabat seperti Abu Hurairah dan lain
sebagainya.

Juga kita tidak boleh mencaci atau mengkafirkan mereka kalau mereka menganut sistem atau aliran itu. Yang penting kita harus berdiri di tengah dan memikirkan ukhuwah, jangan sampai terpecah hanya karena masalah-masalah seperti ini.
Kelima: Hadits Qur‘an wa Sunnati atau Hadits Qur ‘an wa Ithrati?
Mahasiswa: Kami pernah satu hadits tetapi ada dua pengakuan terhadap hadith tersebut adalah
Hadits Tsaqalain yang menyebutkan tentang Kitabullah wa sunnati mohon penjelasan?
Ustadz Husein: Sebenarnya hal itu ada dua Hadits yang satu menurut jalur Ahlul Bait atau
Imamiyah yang berbunyi sebagai berikut: “Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, Al-
Qur’an dan Ithrah Ahli Baitku, kalau kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan sesat.”

Menurut Syi‘ah Imamiyah hadits tersebut hampir dikatakan mutawatir, bukan hanya shahih saja.
Kalau hadits ini kita tinjau dari kitab-kitab standar kita Ahlussunnah (lihat catatan kaki no. 6) maka kita
menganggap hadits ini yang menyebutkan “Ithrati”, kita Ahlussunnah menganggapnya shahih.
Hampir semua kitab hadits meriwayatk an hadits Ithrah ini kecuali Bukhari. Imam Muslim

meriwayatkannya dalam Kitab Fadhoil Ahlul Bait; Imam Turmudzy, An-Nasa’i dalam kitabnya Al- Khoshois, dan Ahmad dalam Musnadnya, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Kanzul Ummal, Ath- Thobakot dan lain-lain Dan juga di dalam tafsir lbnu Katsir, Jama‘ul Ushul dan lain-lain.

Tadi kita Ahlus Sunnah sendiri menganggap Hadits ini shahih: Sedangkan hadits serupa tetapi
menyatakan kitabullah wa sunnati dan itu pun hanya terdapat pada dua jalur saja. Kita Ahlul Sunnah
membenarkannya dan tidak mau mengambil yang lain yakni kitabullah wa ithrati padahal hadits itu
lebih kuat dan lebih banyak,[19] tetapi hanya “Kitabullah wa sunnati” yang dipakai.

Hadits kitabulah wa sunnati rasulihi maksudnya ialah “Kami meninggalkan dua hal bagimu, Kitab Allah dan Sunnahku”, Hadits ini menurut kita Ahlussunnah shahih dan bahkan kita berpegang dengannya.

Namun bagi Imamiyah yang saya anggap mereka itu teliti sekali, mengatakan bahwa justru hadits -wa
sunnati- ini tidak tepat dan tidak sesuai dengan keadaan serta kenyataan di saat itu (Lihat Kitab: Li
akuna ma’ashodiqin oleh Muhammad At-Tijani As-Samawi).

Menurut kenyataan sejarah, Nabi melarang sahabat menulis hadits Beliau. Sayyidina Abu Bakar,
Umar dan Utsman pun melarang menulisnya sehingga sunnah Nabi yang merupakan ucapan Beliau,
pengakuan suatu tindakan yang dilakukan sahabat atau ikrarnya, kemudian perbuatan Beliau
sendiri. Ketiga-tiganya itu tidak pernah terbukukan sebab ada larangan.[20]

Walaupun larangan itu oleh sebagian golongan sebagai sesuatu yang naif sebab dikatakan khawatir
bercampur aduk dengan Al-Qur’an. Hal ini saya kira mustahil sebab Allah telah berjanji akan
memelihara Al-Qur’an itu dan segala gangguan dan juga bahasa Al-Qur’an itu dan sastranya
demikian indah dan jauh berbeda dengan hadits.

Kalau orang Arab apalagi yang hadir di zaman Nabi khususnya yang muslim, tidak mungkin keliru
atau salah membedakan antara hadits Rasulullah Saww dan Al-Qur’an. Oleh karena itu konon
diriwayatkan bahwa Nabi tidak pernah mengajarkan sunnahnya.[21]

Jadi bila Nabi bertindak atau bersabda maka sahabat mencatatnya.[22] Tetapi kadangkala tidak
semua sahabat hadir pada waktu itu sehingga kadang-kadang satu sunnah Nabi hanya disaksikan
oleh seorang sahabat saja. Sehingga banyak sahabat misalnya tidak faham tentang cara
10:
tayammum.[23] Ada sahabat yang tidak tahu bagaimana cara mengusap sepatu dalam berwudhu,
sebab mereka tidak melihat Rasulullah Saww berbuat demikian.
Jadi praktis yang terbukukan waktu itu yang berwujud kitab hanyalah Al-Qur’an.[24] Oleh karena itu
Nabi bersabda: “Aku tinggalkan padamu Kitab Allah dan Ithrahku.”

Kalau sunnah Beliau benar-benar tidak tercatat, tidak mungkin orang berpegangan dengan sesuatu yang tidak ada (belum terwujud saat itu). Ketika Nabi sedang sakit keras dan beliau minta kertas dan tinta -sebagaimana yang telah diriwayatkan Bukhari-[25] untuk menuliskan wasiat, namun Sayyidina Umar menjawab: Ya Rasulullah! Cukup bagi kami Al-Qur’an.

Dengan susunan kalimat Sayyidina Umar ini -Yakfina Kitabullah- dan sama sekali tidak menyebut
Sunnah, berarti -kalau kita mau jujur dan berprasangka baik- Sayyidina Umar tidak akan berpegang
dengan Sunnah yang memang waktu itu belum tercatat dan belum terbukukan. Jadi Sayyidina Umar
bukan menolak Sunnah walaupun ada Syi‘ah yang radikal mengatakan Umar menolak Sunnah, jadi
termasuk ingkar sunnah tetapi sebagian lain mengatakan tidak demikian, sebab Umar pada waktu itu
belum melihat adanya sunnah, sehingga dia bilang “Cukup Al-Qur’an”. Kemudian sunnahnya
bagaimana?
Sunnahnya tentunya apa-apa yang ada di dada mereka, yang mereka ingat. Dan ini relatif tidak

bisa apalagi yang memimpin tidak All round (menguasai sepenuhnya) dalam menghafal semua sunnah. Karena itu dengan prasangka yang baik kita harus menganggap bahwa -waktu itu sunnah belum terbukukan- Jika umpama sunnah waktu itu sudah ada (terbukukan) maka kita bisa
menghukum Sayyidina Umar kafir, karena dia menolak sunnah. Oleh karena sunnah belum ada
maka Umar berpegangan dengan apa yang sudah ada yakni Al-Qur’an.
Alasan lain ialah ketika Nabi Saww hidup, Beliau tidak pernah mengajarkan sunnahnya kepada
ummatnya tetapi Beliau hanya mengajarkan Al-Qur’an.[26]
Jadi yang dikatakan sunnah adalah ucapan Beliau dan lain-lainnya itu belum ada yang
mencatat (membukukan)nya dan belum terdaftar oleh semua sahabat. Kadangkala

sebagaimana yang telah saya katakan tadi sunnah itu hanya didengar oleh seorang sahabat saja. Jadi Nabi tidak mengajarkan sunnah itu. Sunnah baru dibukukan dan ingatan para sahabat kira- kira satu abad setelah Nabi Saww wafat. Tepatnya di zaman Bani Abbas.

Perbedaan pendapat antara sahabat tentang memerangi kaum murtad di zaman khalifah Abu Bakar adalah salah satu bukti bahwa sebagian sahabat lupa akan sunnah Nabi yang belum terbukukan saat itu.

Peristiwa peperangan dengan kaum Riddah atau kaum murtad yang terjadi pada bulan-bulan
pertama masa pemerintahan Abu Bakar yaitu menghadapi orang-orang yang menolak mengeluarkan
zakat. Abu Bakar memutuskan untuk memerangi mereka dan Umar sedianya menolak dengan
alasan mereka itu tetap mengucapkan syahadat, tetapi akhirnya Umar setuju. Pada awalnya Umar
berdalil untuk menentang tindakan Abu Bakar, akhimya karena kuat dan kerasnya pendirian Abu
Bakar maka Umar tertarik dengan pendirian Abu Bakar dan Ahl Riddah (yang tidak mau membayar
zakat) itu.

Andaikata sunnah Nabi pada waktu itu sudah dibukukan tentu kedua sahabat besar ini tidak akan
lupa akan peristiwa yang disaksikan oleh kedua beliau itu sendiri dan mereka tahu bahwa kejadian itu
sampai turun ayat Al- Qur ‘an: “Yaitu peristiwa Tsa‘labah.”

Tsa’labah adalah salah seorang sahabat yang tidak mau mengeluarkan zakat di zaman Nabi dan
dihadapi oleh Nabi sendiri sampai ada ayat yang turun karena peristiwa itu, namun terhadap
Tsa’labah ini Nabi tidak membunuhnya. Jadi membunuh orang yang tidak mengeluarkan zakat tidak
cocok dengan sunnah Nabi pada waktu itu. Tidak ada sahabat yang tidak tahu tentang masalah
Tsa’labah ini, termasuk sahabat Abu Bakar dan Umar. Hal ini menunjukkan bahwa sunnah Nabi tidak
terbukukan, kalau memang terbukukan tentunya mereka akan merujuk ke sunnah itu.
Oleh karena itu hadits yang menyebut “sunnati” itu menurut mereka tidak bisa dipastikan benar.
Selain itu ada beberapa alasan yang terbaca oleh kita dalam hadits-hadits baik dari amalan-amalan
11:
sahabat yang bertentangan dengan sunnah Nabi andaikata mereka tahu, niscaya tidak akan mereka
lakukan dan kita tidak berani mengatakan bahwa mereka sengaja bertindak dengan ijtihad

sedangkan nash ada tetapi mungkin saja mereka ijtihad kerana sunnah tida ada atau tidak
terdaftar, sedang yang bersangkutan tidak ingat sunnah itu. Jika mereka benar-benar tidak tahu
tentang sunnah beliau dalam beberapa masalah maka bagaimana Nabi memesankan agar
berpegangan dengan sunnah yang belum ada itu?

Setelah lama Rasulullah Saww wafat baru sunnah Nabi itu terbukukan. Orang yang pertama
membukukannya adalah Imam Malik dan pembukuan tersebut dilaksanakan setelah terjadinya
peperangan Jamal, peran g Siffin dan perang Nahrawan dan juga setelah peristiwa Al-Harra di

mana ketika itu Madinah Rasulullah Saww dibuka bagi kaum angkara murka. Banyak sahabat yang terbunuh dalam peperan gan-peperangan dan peristi’wa itu. Ummat Islam saat itu terpecah menjadi dua kelompok:

Kubu Ali dan keluarga Nabi Saww dan kubu sahabat-sahabat pada umumnya. Yang lebih parah lagi adalah perpecahan antara kubu Ali dan Muawiyah. Para perawi yang ada mendekati Muawiyah, dan oleh Imamiyah hadits-hadits mereka tidak dipakai.
Jadi hadits “sunnati” menurut Imamiyah tidak ada, yang ada hanya hadits “a ithrati hal ini bisa
dipertanggungjawabkan oleh kita Ahlus sunnah maupun oleh mereka kaum Syi’ah.

Dalam hadits “wa itrah” Nabi Saww seakan akan menyatakan, “Qur’an itu kutinggalkan atau Kitabullah itu saja yang aku tinggalkan padamu, adapun mengenai pelaksanaannya yaitu mandatarisnya adalah Ahlul Bait dalam arti keseluruhan.

Oleh karena itu, Ali oleh Imamiyah dianggap sebagai sahabat yang paling alim dan hal ini sudah
diaksiomakan di zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ketiga sahabat ini kalau menghadapi suatu
masalah pasti pergi menjumpai Ali dan bertanya kepadanya. Nabi bersabda: “Aku kotanya ilmu dan
Ali adalah pintunya.”[27]

Karena itu menurut Syi’ah, lebih aman berpegang teguh kepada Itrah. Ah lus sunnah juga
meriwayatkan “wa itrati” dan Syi’ ah Imamiyah juga meriwayatkan hadits wa ithrati, jadi kita
menemukan titik temu dengan Syi‘ah dalam masalah ini walaupun antara kita dan mereka
mempunyai jalur masing-masing. Adapun “wa sunnati” hanya ada pada jalur kita dan itupun han
ya dua atau tiga jalur. Karena itu Syi‘ah menolak nya dengan alasan-alasan sebagaimana yang
telah saya paparkan yakni pada waktu itu sebelum dibukukan atau belum ada.

Mahasiswa: Sebenarnya jawaban Ustadz tadi cukup jelas dan gamblang. Secara pribadi, saya bisa menjawab mana yang lebih shahih dan yang lebih bisa diterima antara hadits “sunnati” dan “itrati”. Namun saya ingin mendapat penjelasan yang lebih pasti dan Ustadz. Yakni mana yang lebih shahih, hadits “sunnati” dan “itrati”?

Ustadz Husein: Saya sendiri menganggap bahwa kedua pendapat Sunnah dan Syi ‘ah itu sudah cukup jelas. Kalau pendapat Imamiyah “wa sunnati” tidak mungkin diucapkan oleh Nabi sebab Nabi tidak akan mungkin meninggalkan sesuatu yang tidak berwujud (konkrit) atau lengkap.
Nabi hanya meninggalkan sesuatu yang konkrit yaitu Al-Qur’an. Jadi para sahabat walaupun
yang buta huruf tidak bisa baca Al-Qur’an, kemudian mereka memerlukan satu ayat, mereka bisa

bertanya kepada orang-orang yang hafal (huffadz), tetapi masalah sunnah mereka memerlukan
keterangan dan waktu itu tidak ada satu pun kitab yang bisa dijadikan rujukan oleh mereka,
sedangkan mereka memerlukan sunnah itu. karena, pada waktu itu sunnah terpencar-pencar di
dada para sahabat dan tidak semua sahabat hadir ketika Nabi mengucapkan sesuatu, maka
sulit kita percaya bahwa Nabi meninggalkan sesuatu yang belum konkrit, masih abstrak, yang
masih diingat oleh satu orang sedang orang lain tidak ingat. Nabi tidak meninggalkan barang
seperti itu tetapi beliau meninggalkan Al-Qur’an.[28]

Bahkan kalau saya tidak salah, Bukhari sendiri menyatakan ketika ditanya apakah Nabi
meninggalkan wasiat atau tidak, Nabi hanya mewasiatkan Kitabullah (tanpa wa sunnati). Saya kira
riwayat Bukhari ini lebih tepat dipegangi oleh Ahlussunnah.
12:
Keenam: Apakah Mungkin di Zaman Setelah Nabi SAWW, ada pemalsu-pemalsu Hadits?
Mahasiswa: Dengan keterangan Ustadz itu akhirnya kami merasa bingung, karena Ustadz

mengatakan “Kitabullah wa sunnati”; ternyata sunnah-sunnah zaman Nabi tidak dibukukan. Tetapi mengapa toh sampai juga kepada kita dan dipakai oleh kita Ahlussunnah Kemudian, apakah mungkin di zaman itu ada pemalsu-pemalsu hadits?

Ustadz Husein: Bila kita telah membaca sejar ah dengan teliti tanpa ada rasa fanatisme dan taqlid, maksudnya kita benar-benar bersikap neutral, maka bisa saja kita menerima pendapat itu.
Setelah sahabat dengan sahabat berperang. Muawiyah mempunyai klik (kelompok) untuk
memerangi Ali sedangkan Ali dan Ahlul Bait Nabi Saww yang ditinggalkan Nabi sebagai Sesuatu

yang hidup atau sunnah yang hidup d an berjalan bersama al-Qur’an yang nantinya ditafsirkan
oleh Ali. Ali dan Al-Qur’an sudah merupakan dua p eninggalan yang paling baik. Tetapi setelah
hal itu dilanggar, kemudian Ali dirongrong dan dibunuh, sampai Hasan dan Husein di bunuh,
maka di zaman itu banyak orang yang sebenarnya diraguk an imannya kepada Allah dan Rasul-
Nya.

Saudara jangan menganggap ini adalah pendapat saya. Seorang sahabat yang kesaksiannya
dianggap dua orang oleh Rasulullah Saww. Yaitu Huzaifah bin Yaman pernah mengatakan:
“Sesungguhnya kemunafikan itu ada pada zaman Nabi, namun di zaman kita sekarang adalah kek
afiran setelah Iman.”

Artinya mereka itu sudah keluar dari garis iman, dan itulah kafir setelah mereka beriman. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari pada juz 9 Kitabul Fitan. Jadi kalau ada orang yang dikualifikasikan oleh Huzaifah sebagai keluar dari iman -- kafir sesudah beriman -- jelas orang-orang seperti itu dapat melakukan pemalsuan hadits? Justru mereka mencari dalih agar dapat menyingkirkan, menyudutkan dan meninggalkan Ali serta tidak membai’atnya sebagai khalifah pertama, ada alasan.
Tidak bisa meninggalkan hadils “wa itrati” sebab mereka sendiri meriwayatkannya dan Syi‘ah juga
meriwayatkannya. Bagaimana alasannya hadits tersebut dibuang dan “wa itrati” diganti dengan “wa
sunnati”? Mereka lupa bahwa waktu itu sunnah belum terbukukan, jadi mereka menambah. “wa
Sunnati” juga tidak diterima. Tampak jelas bahwa ini merupakan sisipan atau suatu interpolasi,
begitu kata penulis-penulis Imamiyah Itsna Asyariyah.[29]

Hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi saudara-saudara. Nabi itu orang yang realistis tidak
hanya idealis. Beliau tidak akan meninggalkan sesuatu yang belum ada dan Beliau tahu bahwa
sunnah belum terbukukan bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa Beliau merasa pernah
melarang menulis sunnahnya. Lalu bagai mana beliau meninggalkan sunnah itu kepada kita? Jadi
yang ditinggalkan adalah Al-Qur’an dan manusia Allround (serba bisa) yang akan menjalankan al-
Qur’an, yaitu Imam Ali dan Itrah, itulah sebabnya ada hadits Ghadir dan lain-lain.
Ahlussunnah menganggap tidak demikian dan memang kita berhak mengatakan demikian.

Oleh karena itu yang menolak hadits “wa sunnati” yakni Syi’ah, kita tidak boleh kita mengkafirkan dan yang mau memegangi “wa sunnati” juga kita tidak menganggapnya kafir. Hanya sekarang masing- masing kita melihat konsekuensi dan meninggalkan “wa itrati” dan apa konsekuensi dan
berpegang kepada “sunnati”.

Nyatanya dalam masalah Perang Riddah para sahabat berselisih, sebab tidak ada buku standar
dalam sunnah. Tentu saja dalam al-Qur’an tidak merinci masalah itu hanya ia menyebutkan: “Maka
bunuhlah mereka yang durhaka.” (Q.S.49: 9)
Karena itu kita tidak boleh menyalahkan Abu Bakar yang mengatakan: Orang-orang yang tidak
mengeluarkan zakat adalah kafir dan harus dibunuh. Sedangkan Umar mengatakan tidak
demikian, sebab ada hadits yang boleh kita bunuh adalah orang yang belum mengucapkan

syahadat sedangkan Ahli Riddah mengucapkan syahadat dan Malik bin Nuwairah dan suku bani
Tamim seorang yang kuat imannya -- kata Syi’ah-- dia tidak mengeluarkan zakat kepada Abu Bakar
karena dia bukan khalifah yang patut dipilih tetapi Malik menunggu sampai Ali menjabat kekhalifahan.
13:

Kemudian Malik bin Nuwairah cs. diperangi, menurut sebagian sumber sejarah. Baik itu terjadi atau tidak, yang jelas sahabat berihtilaf dan berselisih faham tentang hal itu dan masih banyak lagi para sahabat berselisih faham tentang masalah-masalah atau hukum seperti itu.
Padahal kita ingat Tsa’labah, juga seperti kasus Malik bin Nuwairah cs. yang tidak mengeluarkan
zakat, tetapi Rasulullah Saww tidak membunuhnya dan dibiarkan tetap hidup.
Ketujuh: Apakah ithrah itu? Apakah yang dimaksudkan ithrah itu sampai keturunan
sekarang atau mungkin ada batasnya?

Mahasiswa: Apakah ithrah itu sebenarnya? Sebab kami dengar keturunan Rasulullah itu masih ada sampai sekarang ini. Apakah yang dimaksudkan ithrah itu sampai kepada keturunan Rasulullah yang sek arang ini atau mungkin ada batas-batasn ya?

Ustadz Husein: Perlu saya tegaskan bahwa pertanyaan anda tentang Itrah itu memang penting. Saya juga perlu menegaskan bahwa saya akan menjawabnya berdasarkan pendapat Madzhab Ahlul Bait. Sebab Ahlus sunnah mempunyai pendapat yang masih Abstrak, belum konkrit betul.
Madzhab Ahlul Bait mengatakan bahwa Nabi dengan keluarganya mempunyai tiga (dibagi tiga)
istilah:

1. Ahlul Bait yaitu; yang dikatakan Ahlul Kisa, yakni manusia-manusia yang pada saat -sebagaimana
riwayat Bukhari, dan lain-lain- di selimuti oleh Nabi Saww dengan sorban Beliau, lalu mereka satu
persatu dipanggil masuk ke dalam sorban tersebut. Kemudian Rasul Saww berdo’a: “Ya Allah,
mereka ini adalah Ahlul Baitku, maka lenyapkan dari mereka ini noda dan dosa dan bersihkan
mereka sebersih-bersihnya.” Ini dinamakan Ahlul Bait. Ketika Ummu Salamah, isteri Nabi Saww
berada di luar dan bertanya: Ya Rasulullah, bolehkah saya masuk? Nabi menjawab: “Kamu
termasuk orang yang baik. Jadi ada lima Ahlul Kisa yang dikepalai oleh Rasulullah Saww, kemudian
Ali, Fatimah, Hasan dan Husein. Ini keluarga dan Allah SWT mewajibkan cinta kepada keluarganya
menurut semua madzhab. Tak ada satu pun madzhab yang mengingkari hadits-hadits yang
menyuruh ummat Islam mencintai keluarga Rasul Saww lebih dari mencintai dirinya sendiri hingga
-saya kira- Khawarij pun tidak mengingkari hadits hadits ini.

2. Dzurriyah adalah nama (istilah) dari keturunan kelima manusia suci tersebut, saya juga
Sependapat dengan orang-orang yang mempunyai silsilah keturunan mereka hingga orang-orang ini
bisa dianggap dzurriyah dan Ahlul Bait. Dzurriyah yakni yang sampai sekarang mempunyai silsilah
nenek moyang sampai kepada Ali dan Fatimah, ini dikenali dengan Dzurriyah Ahlul Bait.

3. Itrah ialah para Imam yang berjumlah 12 orang, ini disebut Nabi Saww, yang dimulai dari Ali,
Hasan, Husein dan seterusnya hingga Imam yang kedua belas, yang sekarang belum muncul dari
ghaibnya yaitu Imam Mahdi. Begitulah kepercayaan Syi‘ah Imamiyah. Oleh karena itu mereka
disebut Imamiyah karena mereka berpegangan dengan Itrah. Mereka mengakui juga bait wa
Itrah ini mempunyai dzurriyah atau keturunan juga.
Kedelapan: Di mana turunnya ayat yang berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum dan
berkaitan dengan peristiwa apa?

Mahasiswa: Selanjutnya kami ingin menanyakan tentang ayat yang turun sehubungan dengan peristiwa Ghadir Khum. Pertanyaan kami di mana turunnya ayat itu? (Yang berkenaan) dengan peristiwa Ghadir Khum dan berkaitan den gan apa?

Ustadz Husein: Masalah ini antara Sunnah dan Syi’ah mempunyai riwayat dan pendapat masing- masing. Kalau kita Ahlus Sunnah mengatakan bahwa ayat “Al-Yauma Akmaltu” diturunkan kepada Nabi Saww ketika beliau sedang berdiri di Arafah pada waktu Haji.

Riwayat ini dari Sayyidina Umar yang tercantum dalam shahih Bukhari juz 5 bahkan disebutkan di
kitab itu bahwa ada seorang Yahudi berkata: “Hai kaum Muslimin, andaikan ayat ini turun kepada
bangsa kami, maka hari itu akan kami jadikan hari raya sepanjang sejarah.” Umar bertanya: “Ayat
yang mana? Jawab Yahudi: “Ayat Al-Yauma Akmaltu...” Aku tahu, kata Umar, turunnya ayat itu. Ayat
itu diturunkan atas Rasul-Nya yang sedang wukuf di bukit Arafah.[30] Ayat tersebut berbunyi: “Pada
14:
hari itu Aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku cukupi buat kamu ni‘mat-Ku dan Aku relakan
kepadamu Islam sebagai agamamu. (Q.S.S: 3).
Riwayat lainnya dari Ahlussunah juga diriwayatkan oleh Isa Ibnu Haritsah Al-Anshari: “Ketika kami
-para sahabat sedang duduk-duduk, tiba-tiba datang seorang Nasrani sambil berkata: “Wahai kaum
Muslimin, ada satu ayat yang telah turun kepada kalian.

Seandainya ayat tersebut diturunkan kepada kami, maka hari itu dan saat itu akan kami jadikan
sebagai hari raya bagaimana pun juga keadaannya asalkan selama masih ada dua orang Nasrani di
atas bumi ini. Perawi hadits ini berkata: Tak seorang pun di antara kami yang menjawab perkataan
Nasrani itu. Kemudian aku bertemu dengan Muhammad bin Ka‘ab al-Kurodi dan kutanyakan
kepadanya masalah tadi, dan dia pun menjawab: Mengapa kalian tidak menanyakan kepada Umar?
Setelah ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: Ayat itu diturunkan kepada Nabi Saww, di saat
Beliau berdiri di atas bukit Arafah. Dan hari itu memang kita jadikan hari raya dan dijadikan hari raya
oleh kaum Muslimin. Kalau tidak salah Imam Suyuthi juga mengutip hadits ini dalam kitabnya Ad-
Durul Mantsur dalam ayat “Al-Yauma Akmaltu”.[31]

Riwayat yang lain adalah riwayat Ahlul Bait. Riwayat ini menyatakan bahwa ayat ini bukan turun di
Arafah tetapi turun di Ghadir Khum. Jadi Syi'ah mengatakan bahwa ayat ini untuk menentukan wasiat
kepada Ali bin Abi Thalib. Jadi rinciannya, sebelum ayat ini turun Nabi menerima wahyu berupa ayat
“Tabligh”: “Wahai Rasul, sampaikanlah semua yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Jika
kamu tidak melakukannya, berarti engkau tidak menyampaikan semua risalahmu, Dan Allah akan
menyelamatkanmu dari (kejahatan) manusia.” (Q.S. 5: 67)

Kemudian Beliau mengangkat Ali dan menunjuk Ali sebagai Walinya bahkan Nabi bersabda: “Siapa
yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya pula.” Setelah
pengangkatan Ali tersebut turun ayat “Al-Yawma...” Jadi turunnya bukan di Arafah dan dari sini
banyak juga orang yang meragukan riwayat Sayyidina Umar yang meriwayatkan ayat ini turun di
Arafah.[32] Sebab kalau turunnya pada hari Arafah dan dikatakan sebagai hari raya, maka hal itu
tidak benar. Arafah itu adalah hari kesembilan bulan haji dan bukan hari raya, hari raya itu adalah
hari kesepuluh haji. Karena kesalahan ini maka kemungkinan hadits ini juga dianggap oleh Imamiyah
sebagai hadits yang perlu dikoreksi lagi. Mustahil Sayyidina Umar tidak tahu bahwa hari Arafah’ itu
merupakan hari wukuf. Dan populer di kalangan kita kaum muslimin bahwa hari kesembilan bulan
haji bukanlah hari raya.

Sayyidina Umar berkata: “Memang benar bahwa ayat tersebut saya tahu bahwa Ia turun di Arafah
dan kita kaum Muslimin menjadikannya sebagai hari raya.” Hal ini tidak benar dan tidak cocok
dengan kenyataan, maka hadits ini masih perlu dikoreksi kebenarannya. Imamiyah tidak menerima
hadits ini karena mereka bisa memastikan bahwa ayat itu turun di Ghadir Khum.

Ada juga riwayat-riwayat Ahlus sunnah yang paralel dengan riwayat mereka (Syi‘ah) dalam masalah
pengangkatan Ali tersebut.[33] Cuma kita menganggap hal itu bukan pengukuhan Ali dan penunjukan
Ali sebagai pemimpin, tetapi penafsirannya yang dirubah: “Man kuntu maulahu” yakni “Siapa yang
mencintai aku atau aku mencintai dia maka dia harus juga mencintai Ali.” Kata Syi’ah: “Kalau hanya
itu maksud Nabi, maka tidak mungkin Beliau mengumpulkan sampai sebanyak 120,000 sahabat, itu
terlalu memboroskan tenaga jika hanya untuk mencintai Ali saja.[34] Masalah ini termasuk
masalah yang masih dikoreksi Syi’ah.
Syi‘ah mempunyai pendirian bahwa ayat tersebut turun di Ghadir Khum (di satu tempat di antara
Makkah dan Madinah).
Mahasiswa: Ayat yang Ustadz bacakan tadi yakni: “Ya Ayyuhal Rasul” apakah benar ayat itu turun
berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib?

Ustadz Hussein: Menurut Imamiyah ayat itu jelas turun untuk mendesak Nabi agar menyampaikan
wahyu Allah untuk mengangkat Ali sebagai pemimpin.[35] Bahkan ada tuduhan dari pihak kita bahwa
dalam Qur’an Syi’ah ada tambahan sehubungan dengan ayat itu “Ma unzila ilaika minrrobbika fi Ali”.
Sebenarnya tuduhan itu tidak tepat. Kalau kita mau membaca kitab-kitab tafsir, maka kata-kata “Fi
Ali” itu ada di antara tanda kurung. Jadi kata-kata itu tidak termasuk ayat al-Qur’an tetapi hanya
15:
tafsirannya saja.
Kadang-kadang mushaf para sahabat Nabi disertai juga dengan asbabun nuzulnya tetapi mereka

tahu perbedaannya dengan ayat aslinya dan kata “Fi Ali” itu lebih mirip dikatakan asbabun nuzulnya, bukan kata tambahan buat ayat itu dan ini bisa dipahami. Jadi mereka bukan menambah dalam ayat al-Qur’an tetapi hanya keterangan seperti dalam kurung walaupun mereka tidak memasang tanda kurung di antara kata-kata itu sebagaimana dahulu Al-Qur’an tidak diberi tanda-tanda seperti titik dan harakat tetapi orang memahaminya.
Kesembilan: Apakah benar, bahwa Syi‘ah menambah dan mengurangi ayat-ayat Al-Qur’an
dan melakukan perubahan-perubahan?

Mahasiswa: Setelah Ustadz menyebut tentang penambahan ayat Al-Qur’an, maka mengingatkan
kami pada satu masalah yang akan kami tanyakan yakni permasalahan perubahan ayat-ayat al-
Qur’an yang dituduhkan kepada Syi’ah. Apakah benar tuduhan bahwa Syi’ah menambah dan
mengurangi ayat-ayat al-Qur’an dan melakukan perubahan-perubahan? Saya mendengar bahwa
salah satu pemimpin Syi’ah yakni Ja’far Shadiq mengatakan bahwa Al-Qur’an itu berjumlah hampir
20,000 ayat. Dalam hal ini apakah Ustadz dapat menjelaskan kepada kami?

Ustadz Husein: Dalam hal ini kita harus benar-benar memperhatikan apa yang pernah diucapkan oleh
Syi’ah sendiri. Jadi kita tidak boleh memutuskan berdasarkan teks-books kita atau riwayat-riwayat
yang kita terima dari berbagai golongan dan perawi, kemudian kita vonis bahwa mereka itu
mempunyai Al-Qur’an sendiri. Kita harus mengerti juga bahwa yang dikatakan mempunyai Al-Qur’an
sendiri itu bukan Ali saja tetapi ada mushaf Abu Bakar, mushaf A’isyah, mushaf Utsman, mushaf
Umar yang dititipkan kepada Hafsah dan ada beberapa mushaf-mushaf lainnya.

Menurut kita Ahlus Sunnah mushaf-mushaf tersebut jelas tidak mengandung kelebihan atau
kekurangan. Kalau kita mau teliti lagi, menurut Syi‘ah justru yang melakukan tahrif itu adalah Ahlus
sunnah sendiri. Jadi kalau kita melemparkan tuduhan tahrif kepada mereka maka mereka akan
menyatakan bahwa sebenarnya yang melakukan tahrif itu adalah kita Ahlus sunnah.
Syi‘ah mengatakan, kita melakukan tahrif misalnya, kita memiliki dua surat di dalam Al- Qur’an
menurut sumber-sumber kita sendiri.[36]

Dua surat ini kata Syeikh Raghib Asfahani dalam risalahnya ad alah dua surat qunut. Dua surat ini dipakai oleh Sayyidina Umar dalam qunut. Dua surat ini ada dalam mushaf lbnu Abbas dan mushaf Zaid bin Tsabit.
Bila di dalam mushaf-mushaf mereka ini ada dua surat qunut maka mushaf-mushaf ini termasuk
ada tambahannya.

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Ubay bin Ka‘ab: “Seberapa kamu membaca surat Al-
Ahzab? Surat Ahzab ini biasanya berjumlah 70 ayat lebih sedikit namun kami pernah membacanya
bersama Rasulullah seperti surat Al-Baqarah atau lebih dari itu.[37] Dalam surat Al Baqarah ada
“Ayat Rajm” ternyata sekarang tidak ada.[38]
Apakah surat Al-Ahzab yang berjumlah 72 ayat menurut Ahlus Sunnah itu kurang? Mestinya 200 ayat
lebih? Riwayat- riwayat ini tercatat dalam kitab-kitab kita Ahlus Sunnah.

Ketika Sayyidina Umar berkhotbah: “Wahai manusia, jangan kamu tinggalkan orang-orang tua kamu,
kalau kamu tinggalkan mereka maka kamu jadi orang kafir.” Umar menganggap ini ayat dan
dibacanya di atas mimbar.[39] Ada juga ayat “Adzakari wa untsa” tanpa kata “wama kholaqo”.[40]
Semua riwayat ini dari kita Ahlus Sunnah sendiri.[41] Mengapa hal ini tidak kita anggap tahrif juga?
Kalau yang begini tidak dianggap tahrif maka hal ini merupakan sesuatu yang sulit, sedangkan kita
sendiri belum bisa membuktikan apa yang mereka tulis.

Kalau kita mengatakan mereka, kalau kita katakan apa yang kita maksud dengan tahrif, tadi saya
contohkan mereka menulis “Ma unzila ilaika fi Ali” ini bukan tahrif, tetapi hanya menambah
penjelasan dan asbabun nuzulnya, tetapi dalam al-Qur’an mereka, sampai sekarang ini tidak pernah
ada yang menyebut adanya tambahan atau pengurangan. Di dalam Aqo’id Imamiyah yang ditulis
16:

oleh Syeikh Al-Mudhafar, dia mengatakan: “Kami percaya bahwa Qur’an itu wahyu Ilahi yang di
turunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saww dan di dalamnya mengandung keterangan tentang
segala sesuatu. Dia adalah salah satu mukjizat Nabi Saww yang paling besar dan abadi yang semua
manusia tidak akan bisa menandinginya baik dalam bahasa maupun sastranya. Tidak pula bisa
menandinginya tentang apa yang dikandungnya dari kebenaran-kebenaran dan kenyataan-
kenyataan serta pengetahuan-pengetahuannya yang hebat yang tiada mampu disentuh oleh
kebatilan atau perubahan atau tahrif Dialah Qur’an yang ada di tangan kita, yaitu Qur’an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saww. Siapa pun yang mengakui selain ini maka ia adalah
melanggar Sunnah Nabi atau masih kabur dalam masalah ini.
Kami kemudian mendengar bahwa musuh-musuh Syi’ah selalu menuduhnya melakukan tahrif
berdasarkan kitab- kitab Muhammad Taqi An-Nuri At-Thabrasi (wafat 1320 H) dan dia orang Syi’ah.

Mereka mengatakan bahwa orang tersebut mengatakan adanya tahrif dalam Al-Qur’an. Seorang
penulis Syi’ah yang mengatakan adanya tahrif di dalam fahamnya kemudian kita menyatakan bahwa
semua orang Syi’ah juga melakukannya, hal itu merupakan kesimpulan yang gegabah.[42]

Di dalam beberapa kitab Ahlus Sunnah menyatakan adanya tahrif tetapi Syi’ah tidak menuduh Sunni
mentahrif Qur’an. Kita sebenarnya tidak adil atau tidak jujur, sebab sebaiknya kita melihat kepada diri
kita sendiri sebelum mengkritik orang lain dan lebih baik membentangkan ayat-ayat lain yang
menentang adanya tahrif. Kalau kita melihat diri kita sendiri, maka akan kita jumpai tahrif itu di dalam
Ahlus Sunnah ini, misalnya ketika Sayyidina Abu Bakar menjelang wafat dia membaca sebuah ayat
Al-Qur’an tetapi Ia tidak membacanya “Waja-at sakaratul mauti bil haq” melainkan membaca
“sakaratul haqqi bil maut”.
Apakah dengan demikian al-Qur’an telah dirubah selain itu, ada juga ayat “Wadz dzakara wal untza”
tanpa “Wama khalaqa...” Bukankah ini sesuatu kekurangan?

Walhasil nampaknya kita Ahlussunnah ini hanya ingin mengkafirkan Syi‘ah saja, kita harus jujur. Cara
kita menganalisa dan sikap kita terhadap Syi‘ah tidak “Fanatik” (saya sendiri menyesali hal ini, setiap
saat saya berusaha untuk netral) -apalagi saudara-saudara kalangan mahasiswa ini- Saya sama
sekali tidak menganjurkan agar saudara masuk Syi‘ah bahkan simpati pun tidak. Saran saya hanya
jangan mencerca dengan dasar sesuatu yang belum anda kuasai seluruhnya karena sikap itu tidak
terpuji dan tidak menguntungkan kita, bahkan menguntungkan kaum Nasrani.

Dan mereka yang sekarang ngotot mengkafirkan Syiah di segala tempat. Bahkan mereka
mempropagandakan untuk mengkafirkannya di alun-alun, untuk itu mereka menyebarkan selebaran-
selebaran seperti mereka menyebarkan iklan-iklan bioskop.

Mereka nampak benar sebagai orang-orang yang nafas wahabismenya besar. Sedang ciri dan nafas
wahabisme itu adalah mengkafirkan semua madzhab atau sekte dan semua aqidah Islam di dunia ini
termasuk kita dikafirkan dan dicap sebagai musyrikin. Misalnya bila kita melakukan tawasul,
mengangkat tangan, apalagi di kuburan Nabi Saww maka tidak ada ampun bagi kita, langsung saja
dicap “syirik”. Rupanya ada tangan-tangan kotor Wahabi yang bergerak di Indonesia ini dengan
begitu gigih untuk menjadikan Indonesia ini agar tidak mau mendengar Syi‘ah sama sekali.

Menurut saya hal itu terlalu jauh untuk dijangkau, sesuatu yang tidak mungkin terjadi, sebab Syi‘ah ini
telah ada sebelum madzhab Ahli sunnah. Syi’ah Ali. Apalagi ajaran-ajaran Syi’ah telah lama
dibukukan dan bisa dibaca oleh semua orang yang bisa bahasa Arab, Persi, Inggris atau lainnya.
Orang bisa membaca bahwa di situ tidak ada sedikit pun kandungan syirik yang dituduhkan Wahabi
itu.

Kalau mereka menghormati Ali karena Nabi menyuruh mencintainya, itu adalah hak mereka. Kalau mereka membenci orang-orang yang memerangi Ali itu pun hak mereka, sebab memerangi Ali sama dengan memerangi Nabi sebagaimana sabdanya: “Aku memerangi orang yang memerangi engkau (Ali) dan damai bersama orang yang damai denganmu.”[43]

Namun apa yang terjadi? Ketika Ali diangkat menjadi khalifah, beliau dikeroyok. Mereka yang
memerangi Ali menurut Syi’ah adalah orang-orang yang tidak bisa dipakai lagi riwayat-riwayat mereka
dan agama mereka.[44]
17:
Kita tidak bisa menyalahkan pendirian ini kalau kita masih tetap memakai mereka itu hak kita tidak
ada masalah.

Kalau kita menyatakan bahwa Syi‘ah itu kafir, hanya kita disuruh oleh segolongan tertentu dan luar
negeri khususnya Wahabi itu, itu tidak benar karena Syi‘ah sudah jelas kedudukannya dan tidak bisa
dikafirkan. Dan ketika kita mengkafirkan Syi‘ah sebenamya kita sudah termasuk perangkap intrik
politik Timur Tengah dan kita harus waspada dan menolak maksud mereka agar kita
mendiskreditkan Iran, karena Iran nampaknya tidak bisa dirobohkan dengan dentuman senjata yang
modalnya dari orang-orang Arab seluruh Timur Tengah.

Karena gagal cara ini mereka menyerang madzhabnya atau personnya Khomaini dicerca dan difitnah
habis-habisan tetapi nyatanya mereka tidak berhasil. Slogan-slogan Arab melawan Persi dan
Nasionalisme Arab juga tidak merobah keadaan. Dengan demikian Yahudi dapat kesempatan
memasukkan ide-ide kotor kepada orang orang yang dangkal ilmunya dan sempit akhlaknya,
juga menteror madzhab-madzhab dan yang kena adalah kita sendiri.

Saya mengakui bahwa kita telah masuk perangkap ini. Walhasil, kita harus sebisa mungkin mengkaji
Islam ini dan segala madzhab agar pandangan kita lebih luas dan tepat. Saya mengumpamakan
madzhab-madzhab yang banyak, yang ada ini seperti sebidang kebun yang di dalamnya terdapat
berbagai macam buah-buahan yang lezat dan segar, seperti durian, mangga, duku, manggis, apel
dan lain sebagainya.
Bila ada orang masuk kebun itu dan dia memetik serta memakan manggis, jangan dilarang berilah
kebebasan sekehendak seleranya yang penting kebun ini sudah jelas milik kita ummat Islam.

Kalau misalnya ada masalah-masalah berat dalam satu madzhab maka saudara boleh memilih
madzhab lain yang membahas masalah itu. Misalnya saudara sering tersentuh perempuan yang
bukan mahrom maka kalau saudara keberatan jangan mengikuti madzhab yang membatalkan wudhu
saudara bila saudara bersentuhan dengan perempuan, saudara boleh mencari pandangan madzhab
lain dalam masalah itu. Agama itu mudah dan ikhtilaf di sini merupakan rahmat asal saja jangan
memvonis madzhab lain dengan dasar teks-books madzhab saudara.
Contoh lain adalah Abu Hanifah melarang orang membaca satu huruf pun di belakang Imam ketika ia
shalat, kemudian saudara katakan Abu Hanifah itu bodoh, tidak mengerti hadits yang berbunyi:
“Tidak dianggap shalat bila seseorang yang shalat tidak membaca Ummul Kitab (Al-
Fatihah).”[45]

Ahmad bin Hanbal juga berpendapat bahwa menyentuh perempuan yang bukan mahrom tidak
membatalkan wudhu, kemudian saudara katakan bahwa dia tidak mendengar hadits-hadits yang
menyatakan masalah itu. Jadi kalau kita memakai madzhab kita untuk menghakimi madzhab lain,
tentu saja kita mengatakan madzhab lain itu salah, nyatanya ada masing-masing madzhab
mempunyai pendapat yang berbeda-beda, bila ada 8 madzhab berarti ada 8 pendapat, dan kalau
ada delapan pendapat pasti masing-masing pendapat itu saling berbeda, tetapi jangan saling
mengkafirkan.[46]
Mahasiswa: Ustadz, pertanyaan tadi tentang pernyataan Ja’far Shadiq belum terjawab.

Ustadz Husein: Masalah Imam Ja’far Shadiq pernah saya baca dalam Kitab Al-Kafi di sana beliau
menyatakan bahwa Al-Qur’an terdiri dan 17,000 ayat. Hal ini dimaksud dalam tafsiran Syi’ah (dalam
catatan kaki dari kitab itu dijelaskan bahwa setiap waqaf-waqaf (tempat berhenti itu dianggap satu
ayat) misalnya kita dapat melihat dalam ayat kursi (al-Baqarah ayat 255) kita menganggapn ya
satu ayat dan Syi’ah menganggapn ya 8 ayat.

Tetapi jangan lupa bahwa Sayyidina Umar pernah berkata bahwa Qur’an ini berjumlah seribu-ribu
huruf[47] yakni maksudnya satu juta Sedangkan huruf yang ada sekarang hanya sepertiganya. Dan
mana yang dua pertiga lainnya? Dengan demikian Syi‘ah bisa menuduh kita tahrif. Saudara bisa baca
dalam kitab “Al-Itqan ulumul qur’an”. Sebaiknya kita tidak menyatakan bahwa kita melakukan tahrif
demikian pula kita tidak menuduh madzhab lain melakukannya, masing-masing punya bukti dan
argumen.
18:
Kesepuluh: Mengapa Syi’ah Imamiyah kalau Shalat hanya tiga waktu?
Mahasiswa: Mengapa Syi’ah Imamiyah shalat tiga waktu? Dulu kami pernah tahu di Indonesia ada
agama tiga waktu, apakah mungkin keduanya ada kesamaan?

Ustadz Husein: Saya kira tidak ada persamaan antara Syi‘ah dan agama tiga waktu itu, sebab kita (Ahlus Sunnah) sendiri membolehkan cara demikian itu. Pertama Ahlus sunnah sepakat tentang bolehnya jamak di Arafah. Antara Dhuhur-Asar dan kita namakan jamak takdim.

Kedua kita menjamak shalat Maghrib-lsya’ di Mudzdalifah yang dinamakan jamak ta’khir. Pendapat ini telah disepakati oleh kaum muslimin, termasuk Syi‘ah. Ahlus sunnah membolehkan jamak takdim dan takhir dua fardhu kalau kita dalam perjalanan atau safar. Jadi shalat jamak Dhuhur Ashar di waktu Dhuhur atau di saat Ashar. Maghrib-Isya’ di waktu Maghrib atau telah masuk waktu Isya’. Shalat- shalat ini boleh dijamak kalau kita dalam perjalanan, tetapi Syi’ah tidak demikian.

Syi’ah mengatakan walaupun seseorang tidak dalam perjalanan Ia boleh menjamak shalat shalatnya. Selain itu ada satu madzhab yang berbeda dengan yang lain dalam Ahlussunnah tentang masalah ini. Yakni Madzhab Imam Syafi’i yang menyatakan, orang boleh menjamak shalat-shalat Dhuhur- Ashar, Maghrib-Isya’ walaupun dia tidak dalam perjalanan. Tidak ada halangan hujan dan tanpa
alasan apa pun. Cuma beliau nenyatakan bahwa hal itu tidak boleh dijadikan kebiasaan.[48]

Kalau menurut Imamiyah, kita boleh menjadikannya kebiasaan sepanjang tahun. Dalam masalah ini
mereka tentunya berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Yakni Hadits yang menyatakan bahwa
Rasulullah Saww pernah menjamak antara Dhuhur dan Ashar sebagaimana diriwayatkan Muslim.[49]
Maksud Nabi hanya untuk meringankan ummatnya, kalau kita mau mengkaji kitab-kitab hadits kita
yang shahih maka kita akan tahu bahwa: Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
Rasulullah Saww pernah menjama’ shalat-shalat beliau di Madinah sedangkan beliau dalam
keadaan tidak dalam perjalanan.[50]

Di dalam kitab Imam Malik “Al-Muwatha’”[51] Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saww
shalat Dhuhur dan Ashar dijamak, juga Maghrib dan Isya’. Tanpa alasan perang atau perjalanan,
Imam Muslim dalam shahihnya bab jamak dua shalat di dalam kota. Juga dari Ibnu Abbas Rasulullah
Saww pernah shalat Dhuhur-Ashar, dan Maghrib-Isya’ di Madinah tanpa alasan apa pun dan
dijamak di kotanya sendiri.[52] Juga Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saww shalat jamak
antara Dhuhur-Ashar dan Maghrib-Isya di Madinah tanpa ada satu alasan pun. Kemudian perawi
hadits ini bertanya kepada Ibnu Abbas: “Mengapa beliau berbuat begitu? Ibnu Abbas menjawab:
Agar ummat Islam tidak merasa sulit.”[53] Sekarang banyak pegawai dan sebagainnya yang ketika
pulang ke rumah sudah jam 3 sore sedangkan saat itu waktu Ashar telah masuk, kalau dia tidak
jamak shalat Dhuhur Ashar, mungkin shalatnya tercecer, juga orang yang bekerja di bengkel-bengkel
dan berlepotan minyak dan lain sebagainya.

Bukhari juga meriwayatkan dalam bab waktu shalat Maghrib.[54] Dalam Shahihnya berkata, Amer bin Dinar berkata: Saya dengan Jabir bin Zaid, dan Ibnu Abbas berkata: Nabi Saww shalat tujuh dan delapan raka‘at (tujuh, Maghrib-Isya sedang delapan, Dhuhur-Ashar) di Madinah.

Cuma dalam masalah ini tidak qashar, demikian pula Imamiyah. Saya kira dalil-dalil ini cukup
menunjukkan bahwa Ahlussunnah juga membenarkan shalat jamak. Yang jelas yang dikatakan tiga
waktu itu bukan tiga shalat tetapi lima shalat dalam tiga waktu, dan kita harus membedakan
keduanya itu. Fatwa Imam Khomaini menyatakan, lebih afdhal masing masing shalat dilakukan pada
waktunya. Fatwa tersebut ada dalam kitab beliau “Tahrir Al-Washilah” (juga ulama-ulama mujtahidin
Syi’ah yang lainnya seperti Sayyid Abul Qasim al-Khu’1 memfatwakan hal yang sama).
Kesebelas: Bagaimana menurut faham kita Ahlus sunnah tentang masalah Rajah?

Mahasiswa: Kami melihat nampaknya Ustadz sudah lelah tetapi rasanya kami tidak bosan-bosan untuk semakin banyak menimba ilmu dari Ustadz. Ada satu lagi pertanyaan kami yaitu masalah “Raj’ah” bagaimana menurut faham kita Ahlus sunnah?
Ustadz Husein: Ahlus sunnah sama sekali tidak meyakini masalah “Raj’ah”. Raj’ah itu artinya kembali
hidup lagi di dunia ini. Nanti di zaman Imam Mahdi akan melihat hal itu. Musuh-musuh Ahlul Bait akan
19:

dihidupkan dan akan diberi balasan oleh Allah, kemudian mati lagi semuanya. Kalau ada orang yang
menyatakan bahwa Raj‘ah itu adalah satu faham reinkarnasi itu tidak betul, sebab reinkarnasi itu
artinya roh orang yang menyusup ke tempat lain seperti binatang atau makhluk lain, sedangkan
reinkarnasi itu menurut arti kamus bermakna penjelmaan kembali makhluk yang telah mati.
Sedangkan Raj’ah adalah orang-orang yang telah mati itu dihidupkan kembali, bukan menjelma.
Tidak mustahil bahwa anggapan Syi’ah itu benar,[55] hanya Syi’ah saja yang menyakini faham ini
sedangkan madzhab lain tidak.
Kedua belas: Apa sebenarnya makna Rafidhah?
Mahasiswa: Mungkin Ustadz tahu apa sebenar makna Rafidhah?

Ustadz Husein: Rafidha dan Rawafidh yang bentuk tunggalnya adalah Rafidhi, sering disalahgunakan
oleh kita Ahlussunnah. Mereka menganggap Syi‘ah Imamiyah ini Rafidhah, padahal tidak demikian.
Awal mula munculnya Rafidhah adalah orang-orang yang bersama Imam Zaid bin Ali bin Husein
yang bai’at kepada Imam, kemudian meninggalkan beliau. Anda bisa membaca masalah-masalah ini
dalam kamus “Tajul Arus” jilid 2 atau 3 bab Rafadha. Jadi Rafidza ini tidak ada hubungannya dengan
yang dituduhkan Wahabi kepada Syi‘ah. Wahabi menuduh bahwa Rafidha adalah orang yang
mengatakan Ali lebih afdhol dari Abu Bakar dan dia itu adalah kafir.

Yang benar, Rafidha itu adalah bala tentara Imam Zaid yang meninggalkan beliau. Imam Zaid bin Ali
adalah paman Imam Ja’far Shadiq. Seandainya Rafidha ini ditafsirkan orang yang tidak menerima
khilafah Abu Bakar dan Umar sebagai khalifah yang sah, dia juga tidak dapat kita katakan kafir. Ini
menurut semua madzhab kecuali madzhab yang fanatik. Sebab ada yang mengatakan bahwa
sahabat ini ada yang melakukan kekeliruan, orang tersebut juga tidak kafir. Ada orang bertanya,
mungkinkah hal itu terjadi? Bisa saja, sebab sahabat itu juga melakukan ijtihad, bahkan kita
Ahlusssunnah menganggap bahwa Nabi berijtihad. Sahabat memilih sesuatu selain yang dipilihkan
Nabi, itu mungkin saja. Sebab terbukti bahwa beberapa sahab at seakan-akan mengajari Nabi.

Syi’ah Imamiyah tidak berpendapat demikian, bahkan menentangnya. Satu misal menurut Ahlus
sunnah: Sayyidina Umar datang kepada Nabi Saww seraya berkata, “Ya Rasul Allah perintahkan
istri-istrimu agar memakai Hijab”, di sini nampaknya Sayyidina Umar lebih cemburu dalam masalah
agama dibanding dengan Nabi.
Setelah beberapa saat kemudian turunlah ayat “Hijab” yang membenarkan Sayyidina Umar. Begitu
riwayat kita Ahlus sunnah. Syi‘ah menyatakan mustahil ada orang yang mengajari Nabi seperti itu.

Pendapat itu tidak benar, bertentangan dengan akal, kalau Nabi diajari atau Nabi lupa dalam
shalatnya. Nabi ditegur oleh “Dzulyadain” dalam hadits yang ‘diriwayatkan oleh Abi Hurairah ketika
Nabi lupa dalam shalatnya padahal menurut sejarah bahwa Abu Hurairah saat itu berada di Bahrain.
Ini juga salah satu sebab Abu Hurairah diragukan sebagai membawa sesuatu yang tidak tepat.
Selain itu ada juga riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saww menempelkan pipinya kepada
pipi A’isyah setelah mengajaknya menonton orang-orang Habsyah bermain tombak.
Kata Syi‘ah, Nabi tidak mungkin b erbuat senista itu, kita saja malu apalagi b eliau yang mengajar
akhlak kepada kita dan dipuji akhlaknya oleh Allah.

Banyak hadits-hadits seperti itu dikritik oleh Syi’ah, lantas kita marah. Ada satu riwayat yang lebih
dahsyat lagi yang diriwayatkan oleh Muslim. Seorang wanita datang kepada Rasulullah Saww,
bernama Sahla dan berkata: Ya Rasulullah, saya punya anak asuh namanya Salim, tentunya dia
keluar masuk rumahku dan saya bukan muhrimnya, kadang kadang saya sendirian di rumah.
Kemudian Nabi menjawab: “Susuilah dia”. Sahla menjawab: Ya Rasulullah orang itu sudah
berjanggut, sudah dewasa, bagaimana saya bisa menyusuinya? Nabi berkata: “Kamu susui dia”,
hadits ini ada di dalam Shahih Muslim, salah satu kitab standar kita Ahlussunnah. Andaikan ini
benar ada di dalam kitab itu, hal ini tidak betul, mustahil Nabi yang mengajarkan malu kepada wanita,
tidak boleh bersalaman, melihat laki-laki dengan syahwat dan sebagainya tiba-tiba menyuruh
membuka payudaranya untuk diisap oleh lelaki yang bukan muhrim itu. Kata Syi’ah hal ini
merupakan hal yang mustahil, tetapi Ahlussunnah meriwayatkan ini.
20:
Di sini perbedaan antara keberanian Syi‘ah mengkritik dengan ketaatan kita kepada apa yang
ada ini semua bermula dan penutupan pintu Ijtihad yang kita lakukan.

Sesudah 4 madzhab Ahlus sunnah sepakat untuk membatasi upaya ijtihad dan tidak boleh ada
Mujtahid lagi, karena sudah cukup empat orang ini dan tidak ada lagi yang mampu selain mereka itu.
Mungkin setelah itu tidak ada lagi orang yang bisa menggunakan pikirannya untuk ijtihad karena itu
mereka taqlid saja dan sampai sekarang khususnya di kalangan pondok pesantren.
Jangan diharap kita dapat merubah secara cepat pendirian berbagai masalah seperti di atas apalagi
masalah Taqiah yang kita katakan seb agai perbuatan munafik dan bohong.
Menurut Syi’ah, maksud Taqiah itu adalah menjaga agar diri kita tidak musnah. Kalau agama kita

mau dirusak kemudian kita tidak mampu berbuat apa-apa maka kita dibolehkan taqiah, bukan justru sebaliknya kita mendekal kepada kaum kafir untuk mendapat satu keuntungan dari mereka, itu namanya bukan taqiah tetapi nifaq atau munafik.

Mungkin kita keliru menamakan taqiah den gan perbuatan munafik. Jadi kita tidak boleh menuduh orang atau madzhabnya sekehend ak kita tetapi harus kita kaji sendiri atau berdiskus secara final dengan mereka.

Kalau perlu kita undang beberapa ulamn dari Iran yang bisa diandalkan oleh kedua belah pihak dan
bisa diajukan kepada forum diskusi untuk penjelasan segala masalah. Dalil merela akan lebih
lengkap dan apa yang saya utar akan ini.

Mahasiswa: Terima kasih sekali kepada yang mulia Ustadz Hussein yang telah memberikan
keterangan kepada kami dengan demikian jelas. Walaupun Ustadz sendiri menyatakan bukan
bermadzhab Syi’ah, tetapi kami benar-benar telah merasa puas dengan jawaban-jawaban Ustadz
atas pertanyaan kami. Memang tadi kami datang kemari, kami menyangka bahwa Ustadz ini
bermadzhab Syi’ah. Karena kami mendengar pembicaraan orang-orang yang menuduh Ustadz
bermadzhab Syi’ah. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih kepada Ustadz, untuk penutup,
mungkin Ustadz akan memberikan nasihat kepada kami atau lainnya?
Ustadz Husein: Saudara penanya, saya ini sudah sering dituduh Syi’ah, hingga akhirnya saya
mengatakan: “Saya bukan Syi’ ah dan bukan Sunni tetapi saya muslim.”

Entah, saya masih diterima sebagai muslim atau sudah dikafirkan, yang jelas saya katakan bahwa
saya ini Muslim. Sering saya katakana bahawa saya ini bukan Syi’ah, saya Sunni dan lihatlah
pesantren saya. Segala yang ada di sana guru-guru pondok saya hampir 80% ke atas adalah
berasal dari alumni pondok-pondok pesantren baik dari Sidogiri, Langitan atau daerah Jawa Tengah.
Kurikulum kami dan kitab-kitab pelajaran yang kami gunak an dan lain sebagainya cukup kiranya
membuktikan bahawa kami tidak ada hubungann ya dengan Syi’ ah.

Walaupun demikian dalam kelas-kelas fiqih yakni Aliyah diadakan pelajaran fiqih perbandingan madzhab-madzhab. Kemudian di antara lima madzhab yang ada terdapat juga di sana fiqih dari madzhab Syi’ah Imamiyah. Jangankan kami, IAIN Sunan Ampel juga memasukkan madzhab Imamiyah sebagai bahan studinya.

Studi perbandingan madzhab itu tidak ada masalah dan anak-anak di sana kami bebaskan untuk
mempelajarinya, melihat, mendengar dan membacanya sendiri kitab-kitab dari dua belah pihak.
Kalau ada madzhab-madzhab selain itu boleh saja mereka membaca, itu memang kami bebaskan.
Dari sini belum boleh orang menuduh kami Syi’ah, tetapi kami sebenarnya lebih tepat dikatakan
netral.

Tetapi banyak orang yang tidak menghendaki demikian, ada satu peristiwa yang telah terjadi di Tegal
sehubungan dengan kami. Ketika itu ada dua orang masuk ke sebuah majelis kami tanpa salam
atau salaman, tiba-tiba mereka mengeluarkan tape/recorder sambil serta merta bertanya, “Ustadz ini
Syi’ah atau Sunni?” Saya jawab, saya Sunni, kemudian mereka tanya macam-macam sehingga
terjadi seperti huru hara.
21:

Terus terang saya akui memang mereka itu brutal, tidak berakhlak sedikit pun. Esok harinya mereka datang lagi sambil membawa beberapa orang termasuk beberapa Kiyai. Saya akan melayani mereka dengan cara yang baik dengan moderator dan sebagainya, tetapi ternyata tuan rumah menyatakan keberatan, sebab mereka cenderung membuat keramaian terus. Kemudian saya tinggalkan mereka, tetapi kaset yang hanya terisi lima menit itu kemudian dibawa pulang oleh mereka dan diisi sendiri dengan pembicaraan mereka yang bohong dan mendiskreditkan saya, tetapi mereka sama sekali tidak adil, sebab saya tidak berdaya menjawab karena saya tidak ada di sana.
Di antara perkataan mereka di dalam kaset tersebut ialah seorang Habib dari Hadramaut mengatakan
“Lepas tangan dan madzhab Zaidiyah sampai mereka kembali beriman kepada Allah yang Esa.”

Mendengar itu saya beristighfar kepada Allah, saya katakan berita-berita semacam ini harus kita teliti
kebenarannya, siapa yang membawa? Kadang-kadang yang membawa berita itu adalah Yahudi,
kita sudah terbiasa menerima berita tanpa seleksi. Kemungkinan besar Al-Habib Ali Al-Idrus tidak
mengatakan Zaidiyah melainkan Yazidiyah.

Saya tahu pasti bahwa madzhab Zaidiyah adalah Madzhab yang paling dekat dengan Ahlus sunnah
dan kalangan Syi‘ah dan ini sudah populer diketahui. Kalau anda tanya kepada saya tentang
madzhab atau sekte Syi’ah yang paling dekat dengan Ahlussunnah maka saya segera menjawab
bahwa itu adalah madzhab Zaidiyah. Mungkinkah Sayyid Ali Al-Idrus seorang Ulama Hadramaut itu
mengkafirkan Zaidiyah? Saya yakin yang dimaksud beliau adalah Yazidiyah. Kalau madzhab
Yazidiyah itu, memang kafir. Madzhab Yazidiyah ini adalah salah satu sekte Ahlus sunnah yang
mendewakan Yazid bin Muawiyah bin Abi Sofyan. Saya mempunyai Kitab standarnya yang dicetak di
Saudi Arabia (pusat Wahabi di dunia). Sehingga tidak mungkin ditambah atau dikurangi.

Yazid bin Muawiyah ini termasuk orang yang tidak salah menurut Wahabi. Yazidiyah ini adalah satu
kelompok yang mendewakan Yazid dan menjadikan setan sebagai lambangnya, burung merak
sebagai simbolnya. Di dalam kitab itu disebut semuanya, juga dijelaskan tentang madzhab ini di
dalam kitab “Insikiopedia madzhab-madzhab dan filsafat-filsafat”. Kesempitan ilmu dan minus Akhlak

menyebabkan orang-orang berbuat itu. Mereka mengisi kaset-kasetnya sendiri sehingga saya tidak bisa menolak pendapat-pendapat mereka itu. Alhamdulillah sejak awal tadi saya perhatikan dalam majelis ini, saudara nampak bersikap sangat simpatik, dan memang saya tidak heran karena saudara dari kalangan mahasiswa, pantas bersikap demikian, sebab mungkin saudara nanti menyampaikan apa yang telah saya katakan kepada kalangan saudara sendiri, mungkin saudara masih mengoreksi lagi kata-kata saya, saya persilahkan. Ada satu masalah penting sebelum saya akhiri, yakni saya akan menambab penjelasan masalah tahrif tadi yang benar- benar perlu kita fahami.
Kesimpulannya: Perselisihan beberapa riwayat tentang adanya tahrif dari kedua belah pihak yang

saling menuduh tahrif, akhirnya mereka sepakat bahwa riwayat-riwayat kita Ahlus sunnah mengenai tahrifnya Syi‘ah dan yang ada pada kita sendiri atau riwayat Imamiyah tentang tahriif itu, baik yang mengatakan tambahan dan pen gurangan dalam al-Qur’an, semua riwayat itu dianggap Dha’if (lemah) oleh kedua belah pihak dan bahkan maudhu’ (buatan) yang sama sekali tidak boleh
digunakan. Akhirnya Sunnah dan Syi’ah kembali kepada Al-Qur’an yang ada pada ummat Islam
sejak zaman itu sehingga sekarang yaitu Qur’an kita ini. Ini semua berd asarkan firman Allah:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan Kamilah yang akan menjaganya.”
(Q.S. 15:9).
Jadi kita tidak perlu mengambil riwayat riwayat yang Dha‘if atau Maudhu’ itu untuk saling menuduh,
sebab itu tidak benar. Adik-adikku sekalian, saya cukupkan sekian.

Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan itu bermanfaat bagi saya dan saudara-saudara; dan
menambah ilmu kita. Jika ada keterangan saya yang salah, maka kesalahan itu dari saya sendiri, dan
saya mengucapkan Astaghfirullah. Bila benar maka kebenaran itu dari Allah SWT. Wassalam.
RAJ ‘AH MENURUT PANDANGAN SYI‘AH IMA MIYAH

Raj’ah ialah: “Kebangkitan kembali sekelompok manusia dan ummah Rasulullah Saww yang memang
tinggal derajat keimanannya dan kedurjanaan, untuk menenima sebagian balasan mereka di dunia
ini.”
22:

Mereka yang beriman akan mendapatkan kejayaan sedang yang fasik akan dihinakan dan diberi
siksaan. Hal ini akan terjadi pada masa bangkitnya Imam Mahdi (Imam dari keturunan Imam Ali dan
Fatimah) sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Nabi dalam Hadits-hadits yang mutawatir menurut
seluruh Ulama Syi‘ah dan sebagian besar menurut Ulama Ahlus sunnah.
Setelah dibangkitkan mereka akan dimatikan kembali kemudian akan dibangkitkan kembali pada hari
kiamat.

Keyakinan tentang Raj’ah hanya diimani oleh orang-orang Syi’ah saja. Adapun Ahlus sunnah tidak
meyakininya bahkan menganggapnya sebagai suatu i’tiqad (keyakinan) yang dapat menjadikan
tercemarnya kemurnian iman seseorang dan sebagai salah satu faktor tidak dipakainya riwayat
seorang perawi (Apabila ada seorang perawi yang mempercayai atau meyakini tentang Raj’ah ini,
maka riwayatnya tidak dapat dipakat). Tentunya hat ini disebabkan tentang masalah fahaman
mereka, yang menganggap Raj‘ah itu sebagal Reinkarnasi. Anggapan ini tidak benar.
Dalil-dalil Tentang Adanya Raj’ah
Dalam masalah pembuktian tentang adanya Raj’ah (faham Raj’ah) ada dua hal yang penting yang

harus dibahas:
1. Apakah kejadian Raj’ah itu adalah suatu yang mustahil atau tidak?
2. Apakah ada ayat atau hadits yang dapal dijadikan sebagai dalil tentang adanya Raj‘ah?
Untuk menjawab pertanyaan pertama adalah sebagai berikut: Raj’ah tidak berbeda dengan
kebangkitan (Al-Ba‘ats) ummat manusia pada hari kiamat kecuali dalam hal ruang dan waktu.
Raj’ah terjadi di dunia dan sebelum hari kiamat tiba, sedangkan Al-Ba’ats (Kebangkitan sejati) terjadi
setelah hari kiamat dan bertemp at di alam akhirat.

Adapun dalil-dalil aqli (akal atau rasio) yang pernah diutarakan oleh teolog-teolog Islam untuk
membuktikan kebenaran Al-Ba’ats itu juga dapat digunakan untuk membuktikan adanya Raj ‘ah
secara akal.

Untuk menjawab pertanyaan kedua adalah: Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menegaskan bahwa pada zaman Nabi-nabi terdahulu, sering terjadi semacam Raj’ah yaitu bangkit atau hidupnya seorang atau sekelompok manusia setelah mereka mengalami kematian.
Pertama:

Dinyatakan dalam al-Qur’an bahwa Nabi Isa As memiliki mu‘jizat dapat menghidupkan orang yang sudah mati. Dalam ayat yang berbunyi: “…dan aku menghidupkan orang yang mati dengan seizin Allah...” (Q.S.3: 49).
Kedua:

Seorang dari bangsa Yahudi pernah melalui (lewat) pada suatu desa yang sudah hancur dan binasa
penduduknya, lalu ia bertanya-tanya siapa gerangankah yang akan membangkitkan semuanya ini?
Lalu orang ini dimatikan oleh Allah selama 100 tahun, kemudian dibangkitkan kembali untuk
membuktikan bahwa Allah Maha Kuasa atas segalanya ini. Disebutkan dalam ayat yang berbunyi:
“Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang-orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya
telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, ‘Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini
setelah roboh? Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun. Kemudian menghidupkannya
kembali Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini? la menjawab, saya telah tinggal di

sini sehari atau setengah hari, Allah berfirman: Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah dan lihatlah keledai kamu (yang telah menjadi tulang-belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda-tanda kekuasan Kami bagi manusia dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupnya dengan daging. Maka talkala setelah nyata
23:
kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: “Saya yakin bahwa
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. 2: 259).
Ketiga:

Al-Qur’an menceritakan ada sekelompok dari bani Israel yang melarikan diri dari kota mereka karena takut mati terserang oleh wabak yang tersebar luas, lalu Allah mematikan mereka semua, kemudian setelah menjadi tulang belulang dan musnah dimakan tanah mereka dibangkitkan dan dihidupkan sebagaimana semula, untuk menjadi bukti kebenaran “Al-Ba‘ats”.

Ibnu Katsir berkomentar: “Dihidupkannya mereka itu merupakan bukti yang kuat dan nyata bahwa kebangkitan jasmani pada hari kiamat itu benar-benar akan terjadi.” Kisah di atas kami kutip dari Tafsir Ibnu Katsir juz 1 hal 298.

Ayat-ayat yang dipakai oleh Ulama Imamiyah sebagai dalil Raj’ah: “Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami
kumpulkan dari tiap-tiap ummat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu
mereka dibagi-bagi (dalam kelompok-kelompok).” (Q.S .27: 83). Ayat tersebut di atas menurut
pandangan Ulama-ulama Syi‘ah jelas menunjukkan adanya Raj’ah, sebab Allah berfirman bahwa Dia
akan membangkitkan sekelompok manusia yang mendustakan ayat-ayat-Nya, hal itu dapat dipahami
secara jelas dari kata “min” yang berarti sebagian. Jadi yang dibangkitkan hanya sekelompok
ummat saja, tidak semua ummat manusia, dan ini jelas berbeda dengan kebangkitan total yang
terjadi pada hari kiamat yang diberitakan dalam Al Qur’an bahwa tidak ada yang tersisa seorang

pun dalam firman-Nya: “Dan akan Kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dan mereka.” (Q.S.18: 47). Lihat Tafsir Majma’ul Bayan jilid 4 Juz 7, hal. 234-235 diterbitkan oleh maktabah Ayatullah Al-Udzma Al-Mar’asi -Qum, Iran- Tahun 1403 H.

Hadits atau riwayat-riwayat Ahlul Bait yang menyatakan hal ini cukup banyak dan kuat kedudukannya
dan itu merupakan hal yang diakui secara luas dalam ajaran Ahlul Bait. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Syeikh Muhammad Ridha Al-Mudhaffar dalam bukunya “Aqo’id Al-Imamiyah” hal.
71. Kemudian beliau menambahkan bahwa faham Raj’ah bukan merupakan ajaran pokok

(Ushul) Madzhab Syi’ah Imamiyah. Hanya saja kita (orang-orang Syi‘ah meyakini hal itu
disebabkan adanya riwayat-riwayat Shahih yang tak terbantahkan, yang datang dari jalur Ahlul Bait
dan itu termasuk perkara Ghaib (belum terjadi) yang mereka sampaikan kepada kita. Dan penjelasan
di atas akan nampak jelas kesalahan mereka yang berpendapat bahwa Raj’ah adalah ajaran
Yahudi yang tersisip ke dalam ajaran Syi‘ah sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad Amin
penulis buku “Fajrul Islam”.

Tidak semua kesamaan yang ada pada suatu ajaran dengan ajaran lainnya itu berarti mengambil
dari yang lain. Kalau memang demikian, orang dapat mengatakan bahwa beberapa pokok ajaran
Islam itu diambil dan ajaran Nasrani dan Yahudi dikarenakan adanya kesamaan. Bukankah Al-Qur’an
itu untuk membenarkan dan menetapkan sebagian dan ajaran Nasrani dan Yahudi dalam ayat: “Dan
Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang ada
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya).” (Q.S.5: 48).

Kalau memang benar bahwa Raj’ah itu disadap dari ajaran Yahudi, walaupun hal itu tidak pernah dapat dibuktikan berdasarkan kajian ilmiah. Inilah keterangan singkat tentang faham Raj’ah beserta dalil-dalilnya. Mudah-mudahan dapat sedikit memberi penjelasan bagi mereka yang
belum mengerti (memahaminya). Adapun untuk lebih puasnya kami persilahkan pembaca langsung
merujuk tulisan-tulisan, kajian ulama-ulama Syi’ah tentang hal ini.
Wallahu a’lam.

[1] Kitab Tsummah Tadaitu, Kitab Al-Milal Wan Nihal oleh Ja far Subbani Juz 1.
[2] Bukhari, Kitabul Fitan Bab 1 dan 2.
[3] Bukhari, Kitabul I’tishom bil-kitabi wasunnah bab ajrul hakim izajtahada fa ashoba fa akhto’a.
[4] Muslim, Kitabul Hudud bab Qoth’i Yadi Sariq
[5] Turmudzy, Juz 2 hal. 298, Musnad Abmad, Juz I hal. 119, 152, Juz 4 hal. 368, 372, Juz 5 hal. 118, 330, 336, Mustadrak Al
Hakim Juz 2 hal. 129, Juz 3 hal. 109, 110, 116, 371, Durul Mansur (Suyuthi) dalam tafsir surat Al-Ahzab ayat 6. Hadits ini
24:
diriwayatkan oleh 110 Sahabat, 84 Tabiin, 360 Ulama Ahlus Sunnah. (A1 -Ghadir Juz I hal. 14 .sampai 151).
[6] Muslim, Kitab Fadhoilussahabah Bab Fadhoil Ali, Turmudzy Juz 2 hal. 308, Mustadrak Al-Hakim Juz 3 hal. 48, 109,
Musnad Ahmad Juz 3 hal. 17, Nasa’i Kitab Khosois Imam Ali.
[7] Bukhari, Kitab Badulkholk Bab Manaqib All, Muslim, Kitab Fadhoil So habat Bab Fadhoil All, Turmud zy Juz 2 hal. 301.

Mustadrak Al-Hakim Ju 2 hal. 337, Nasal dalam bukunya Khosois Imam Ali meriwayatkan hadits ini dan 20 jalur.
[8] Lihat Tarikh Al-Khulafa (Suyuthi) hal. 5-10, Murujuzzahab 2/330.
[9] Tarikh Al-Khulafa 27-77, Al-Kamali Fitarikh 2/291-292.
[10] Al-Kamil Fittarikh Juz 3 hal. 34-37.
[11] Tafsir Fahrurrozi dalam tafsiran ayat 67 Surat Al-Maidah Kitab inisykatul Mashobi’ Hadits No. 6094 jilid 3. Ucapan serupa
juga disampaikan oleh Bakar dan Sa’ad bin Abi Waqas, lihat Musnad Imam Ahmad 4/218 dan sahabat Al-Barra bin Azib.

Tafsir Al-Kabir oleh Fahrurrozi Tarikh Bagdad oleh Al-Khatib Al Baghdadi 8/290. Faidhul Ghadir fi Syarhi Jami’ua shagir Juz 6/217. Dakhoirul Uqbah hal. 68 Arriyadhu Annadhiro Iuz 2 hal. 170 keduanya oleh Al-Muhib Atthabari dan juga dikutip oleh Hajar Al-Haitami dalam bukunya Ashowaiq AI-Muhriiqoh. Cerita pengucapan selamat yang disampaikan oleh Abu Bakar d an Umar kepada Imam Ali tercatat dalam 60 buku standar Ahlus Sunnah. Lihat Al-Ghadir Juz I hal. 272-283.